MEMBANGUN
PRIBADI UNGGUL
(B. S.
Sidjabat, ANDI, Yogyakarta: 2011)
I.
Isi
1.1 Apa itu Watak?
Secara
singkat dapat dikemukakan bahwa istilah watak mengandung arti sifat, tabiat,
atau kebiasaan dalam diri dan kehidupan kita. Salah satu pertanyaan yang lazim
diajukan orang adalah: bagaiman watak hadir, terbentuk dan berkembang dalam
kehidupan kita? Pada dasarnya, watak bertumbuh dan berkembang melalui proses belajar
(sosialisasi) dalam lingkungan tempat kita dibesarkan.[1]
Watak
erat hubungannya dengan tata nilai. Ahli filsafat M. Sastrapratedja
mengemukakan bahwa kita berbicara tentang nilai, harus ada sejumlah perkara
yang patut kita perhatikan[2].
Pertama, nilai dipilih seseorang untuk dipegang, diinternalisasi dan
dipelihara; kedua, nilai dipilih untuk dipelihara setelah mempertimbangkan
berbagai alternatif yang ada; ketiga, orang memilih nilai setelah
mempertimbangkan akibatnya; keempat, hal yang dianggap orang bernilai akan
diwujudkannya dalam kehidupannya sehari-hari; kelima, nilai merupakan kaidah
hidup bagi yang menganutnya; keenam, nilai merupakan hal yang positif sehingga
dihargai, dipelihara, diagungkan, dihormati, bahkan membuat puas dan bersyukur;
ketujuh, nilai membuat orang berani menyatakan dirinya dihadapan orang lain;
akhirnya, nilai membuat orang mengembangkan kepribadiannya. Pakar pendidikan
nilai, Milton Rokeach mengemukakan dua jenis saja nilai dalam hidup ini.
Pertama, nilai tertinggi yang menjadi tujuan akhir kehidupan ( Terminal
Values). Maksudnya, orang hidup dalam dunia ini dan bertujuan semata-mata untuk
mencapai atau mewujudkan nilai-nilai itu seperti: kehidupan bahagia yang damai
sejahtera. Kedua, nilai hidup sebagai alat atau instrument dalam rangka
mewujudkan tujuan akhir tadi (Instrumental Values). Ambisi, pola berpikir luas,
sikap jujur misalnya, tidak berdiri sendiri melainkan lazimnya merupakan sarana
untuk mewujudkan kebahagiaan. Seseorang mengembangkan kesanggupan dan
keberanian atau ketaatan, tapi tujuan akhirnya untuk apa? Seseorang hidup
dengan nilai kemandirian dan kesopanan, mungkin saja untuk memperoleh pengakuan
social dan penghargaan masyarakat.
Watak
dan tata nilai tidak lepas dari Iman[3].
Corak dan warna dari akhlak dan tata nilai kita iktu serta membentuk cara
beriman kepada Allah dan firman-Nya. Sebaliknya, kualitas iman dan keyakinan
pun turut memengaruhi watak, nilai hidup dan moral kita. Iman dapat kita anggap
sebagai sumber atau norma bagi moral, watak dan tata nilai. Hal yang kita imani
atau kepada apa dan kepada siapa kita beriman, turut menguasai watak, nilai dan
moral. Sebagaimana telah disinggung bahwa jika kita beriman kepada Allah
didalam dan melalui Yesus Kristus, oleh pertolongan Roh Kudus watak, nilai
hidup, dan moralitas kita sedikit banyak menjadi berbeda dengan mereka yang
tidak beriman kepada-Nya[4]
Watak
dan moral terkait sangat erat pula. Memahami moral tidak cukup hanya dari aspek
perbuatan atau tingkah laku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Moral pun
merupakan pemikiran. Artinya, moral juga berkaitan dengan penalaran atau
pemikiran seperti tampak dalam pengambilan keputusan tentang hal yang baik dan
hal yang bukan. Moral terkait juga dengan potensi dalam diri manusia.
Maksudnya, pada setiap orang terdapat potensi atau etis untuk berbuat baik,
setidaknya untuk orang-orang yang tidak dikenal, dihargai dan dikasihinya.
Adanya potensi moral amat sesuai dengan ajaran Alkitab yang mengaskan bahwa
manusia dalah ciptaan-Nya dan membawa rupa serta gambar Allah (Immago dei) sang
khalik (Kejadian 1:26-27).
1.2.
Dinamika Pembentukan
Karakter
David W. Gill[5]
mengemukakan enam aspek yang turut membentuk perangai manusia, yaitu : 1) aspek
genetis dan sifat manusia kita yang berdosa; 2) karya Allah yang sedang
menguduskan kita; 3) pengasuhan orang-orang yang tidak kita pilih; 4) pengaruh
dari orang-orang yang kita pilih; 5) pengaruh budaya baik yang kita pilih
maupun yang tidak; 6) pilihan pribadi untuk menjadi seperti yang kita ingini.
1.2.1
Faktor Yang Mempengaruhi
Pembentukan Dan Pengembangan Watak[6]
Cacat
jasmani kemerosotan kekuatan fisiologis dapat menimbulkan gangguan psikologis,
seperti mudah emosi, dilanda oleh kepedihan dan ketakutan. Jika sejak lahir
orang sudah menderita gangguan mental, bagaimana mungkin mereka mengalami
perubahan secara positif dengan pesat? Orang yang dilahirkan dengan kondisi
tubuh tidak normal, sedikit banyak mengalami masalah dalam pertumbuhan
karakternya.
1.2.2.
Faktor lingkungan sosial[7]
Sebagaimana
disinggung dalam bab sebelumnya, keluarga adalah lingkungan awal pembentuk
sikap, pola piker dan kebiasaan hidup kita. Ayah, ibu atau mereka yang telah
membesarkan menanamkan pengaruh melalui tindakan disiplin, lewat perkataan dan
perbuataan serta keteladanan. Penjelasan
diatas hendak mengemukakan bahwa watak kita dibentuk oleh orang-orang yang
megasuh dan memberikan pengaruhnya. Kemungkinan pertama, orang-orang itu tidak
kita pilih atas kesadaran diri. Misalnya, tidak ada bayi atau anak, yang
memilih dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua atau pengasuh tertentu. Tidak
ada bayi dan anak yang mampu membuat pilihan agar dibesarkan dalam budaya dan
tradisi etnis atau masyarakat tertentu. Anak usia sekolah dasar pada umumnya
tidak mampu membuat pilihan untuk membuka diri terhadap pengaruh guru dan teman
sekelas yang sesuai keinginan hatinya. Mereka berada dalam lingkungan sosial
itu.
1.2.3.
Krisis Kehidupan[8]
Prinsip
yang penting lagi dalam situasi menantang adalah kita harus belajar bersikap
dan bertindak arif. Jelas kita membutuhkan pertolongan lewat komunitas persekutuan
dengan kawan-kawan yang sehati dan sepikir. Kita juga harus mengandalkan Tuhan
Sumber Hikmat dan Kekuatan, supaya memiliki kesanggupan membedakan (spirit of
discernment) mana yang baik dan mana yang buruk.
1.2.4.
Faktor Waktu (Kronos)[9]
Makin
dewasa seseorang secara fisik, diharapkan semakin dewasa pula pemikiran, sikap
sosial dan spritualitasnya. Sebab, pengalaman hidup dan wawasan mereka lebih
kaya dibandingkan dengan anak-anak. Tidak mengherankan melihat bahwa budi
pekerti anak-anak berbeda dengan orang dewasa, karena factor waktu dan usia.
Pengalaman hidup dalam artian positif maupun negative dari kedua generasi
tersebut itu berbeda. Perangai remaja berbeda dengan akhlak orang dewasa. Rasul
Paulus pernah mengakui hal semacam itu, ketika menuliskan: “Ketika aku anak-anak, aku berkata seperti
kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak.
Sekarang, sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kank-kanak itu” (1
Korintus 13:11).
1.2.5.
Intervensi Iblis[10]
Namun,
tanpa mengabaikan kebenaran pandangan pengetahuan sosial tadi, kita perlu
mendengarkan keterangan Firman Tuhan. Alkitab mengajarkan bahwa kehidupan di
dunia ini berada dalam peperangan roahani. Iblis selalu mencari upaya
melumpuhkan iman kita kepada Tuhan dan firman-Nya. Iblis dan roh-roh jahat berusaha membuat kita ragu, bimbang
dan bahkan tidak lagi mengakui kasih dan kebenaran Tuhan. Perubahan hidup ke
arah yang lebih baik menjadi agak sulit oleh karena iblis tidak senang atas
kehidupan demikian. Menurut Tuhan Yesus, iblis adalah “Bapa segala dusta” yang menyesatkan.”… ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam
kebenaran, sebab dalam dia tidak ada kebenaran. apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia
adalah pendusta dan bapa segala dusta.” (Yohanes 8:44).
1.2.6.
Faktor Kedagingan[11]
Hidup
dalam kedagingan disebut juga hidup secara duniawi, seperti yang dialami oleh
jemaat perdana di Korintus. Mereka sudah percaya kepada Tuhan Yesus. Namun,
gaya hidup atau pola pikir mereka belum mengikuti gaya hidup yang diteladankan
Kristus. Gaya hidup yang diajarkan oleh nilai budaya (Yunani / Yahudi) masih
mengemuka dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam memandang dan menilai
sesamanya. Cara memandang sesamanya dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai
budaya, termasuk kebiasaan menonjolkan tokoh tertentu. Akibatnya, warga jemaat
disana dahulu hidup dalam perseteruan, perselisihan (1 Korintus 3:3-4).
Keduniawian itu juga mengakibatkan mereka terus kalah terhadap godaan termasuk
percabulan (1 Korintus 6:12-20), dan penyembahan berhala (1 Korintus 8:1-13).
1.2.7.
Pemeliharaan Tuhan[12]
Pemahaman
tentang kedaulatan, kesetiaan dan pemeliharaan (providensia Allah)[13]
sangat mendasar dalam kehidupan kita. Apabila hanya mengandalkan kekuatan diri
sendiri, kita sulit mengalami perubahan hidup ke arah yang positif. Sebab,
begitu banyak kendala atau hambatan yang selalu menantang dan memengaruhi
perbuatan itu. Termasuk gangguan roh jahat yang sudah disinggung tadi. Namun,
syukurlah bahwa Allah bekerja di dalam dan melalui kehidupan kita (Flp 2:13).
Allah senantiasa hadir bersama kita (Immanuel) oleh rohnya yang kudus.
Selanjutnya Allah tetap melakukan intervensi meski tidak mudah kita saksikan.
1.3.
Watak dan Konsep Diri
Negatif
1.3.1. Pengertian Konsep Diri[14]
Konsep atau citra diri
adalah gambaran (image) yang kita peroleh, kita miliki dan kita kembangkan
mengenai diri sendiri. Semacam pemahaman aku
menurut aku tentang diriku. Jika diminta, setiap orang dapat member
penjelasan atau keterangan mengenai siapa dirinya berdasarkan gambaran diri
yang dimilikinya. Pada umunya gambaran dri itu muncul karena pertimbangan (
konseptualisasi) dan kebutuhan dalam mancari gambaran aku ideal dalam diri sendiri. Namun, gambaran diri itu dapat pula
bertumbuh berdasarkan tuntutan, harapan dan keinginan orang lain.
1.3.2. Dua Macam Konsep Diri[15]
Ø
Konsep Diri Positif
Konsep
diri membuat kita sanggup mengenal dan menerima seluruh keberadaan diri,
kekurangan atau kelebihannya, dikenal dengan konsep diri positif. Artinya, kita
merasa senang dengan diri sendiri,
meskipun telah melalui masa lampau yang kurang atau tidak menyenangkan.
Termasuk relasi yang tidak sehat dengan orangtua, teman-teman atau guru bahkan
terhadap saudara-saudara maupun keluarga. Konsep diri positif memampukan kita
keluar dari akar pahit, kekecewaan, dendam, perasaan cemas atau takut. Kita
dapat berpikir secara kreatif mengenai semua kesan dan peristiwa masa lampau.
Dari semua pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, kita dapat melihat
makna yang baik, menarik dan bahkan berguna bagi kehidupan sekarang dan masa
depan.
Ø
Konsep Diri Negatif
Konsep
diri negatif biasanya sulit untuk memampukan kita menyelesaikan permasalahan
dan persoalan kehidupan secara efektif. Perangai semacam itu justru dapat
memengaruhi kualitas tugas dan pekerjaan karena terus-menerus dilanda perasaan
kurang percaya diri. Takut bekerjasama atau berkompetisi secara sehat dengan
orang sekitar. Ketika harus bekerja sama kita sulit menerima saran dari
rekan-rekan. Mempertahankan pendapat walaupun keliru. Munculnya ketakutan jika
berbagai kekurangan akan terlihat oleh kwan-kawan kemudian mereka akan
mengkritik dan menjauhi.
1.3.3. Pengaruh Kuasa Kegelapan[16]
Dari
sudut ajaran alkitab kita tahu bahwa iblis dan kuasa roh-roh jahat nyata. Iblis
sering menyamar sebagai malaikat terang, memberikan keinginan kepada manusia
asal saja mereka menjadi miliknya (band. Yoh. 8:44; Ef. 6:11-13). Bahkan iblis
pun menawarkan pertolongan kepada Yesus agar Dia menjadi terkenal, dikagumi
banyak orang, mudah didengar dan diterima oleh mereka. Namun, Yesus menolak
bantuin itu. Dia juga menolak bantuan roh jahat dalam memproklamasikan diriNya
(Mat 4:1-11), alasannya Yesus tahu bahwa Iblis adalah bapa segala dusta bahkan
pembunuh manusia ( Yoh. 8:44). Yesus dating untuk menghancurkankuasa si jahat
itu, supaya yang percaya kepadaNya menikmati kemerdekaan hidup.
1.3.4.
Beberapa Penghargaan
Diri Keliru
Ø
Meninggikan Kecantikan
Wajah[17]
Pembandingan
yang dinyatakan orangtua melaui perkataan maupun perbuatan, lazimnya melahirkan
rasa cemburu atau iri hati dalam diri anak yang merasa kurang cantik. Si anak
merenung apakah sesungguhnya dilahirkan oleh ibunya sendiri atau tidak. Ia
mempertanyakan keaslian dirinya, apakah anak angkat atau bukan. Mungkin pula ia
terus memandangi dirinya di depan cermin dan melihat segala kekurangannya
secara fisik sehingga tidak mampu bersyukur kepada Tuhan.
Ø
Menyangkut Ketampanan
Fisik[18]
Sebagaimana
halnya dengan perempuan cantik, laki-laki yang ganteng juga banyak mengalami
gangguan kepribadian karena tidak mampu menerinma dirinya apa adanya. Semua
perhatian dan energy dipusatkan untuk membuat dirinya tampil sebagai lelkai
idaman atau macho yang dikagumi oleh lawan jenis secara khususnya. Perhatiannya
untuk meningkatkan diri dalam aspek lain seperti dalam keterampilan olahraga,
bekerja sama dengan teman-teman sebaya dan kesediaan mengakui kelebihan orang
lain menjadi terhambat. Jika keuangannya memungkinkan ia cukup mentraktir
bahkan membayar apa saja sejumlah orang agar selalu hadir disampingnya untuk
mengakui kehebatan atau melindungi dirinya dari sikap orang yang mungkin
meremehkan.
Ø
Mengagungkan Kekayaan[19]
Orangtua
dapat menancapkan benih dasar harga diri keliru melalui sikap berlebihan dalam
bekerja, seperti dalam dunia dagang dan pekerjaan lainnya yang memberi
keuntungan financial yang cukup besar. Secara perlahan anak menyimak bahwa
tenaga orangtua sepenuhnya dicurahkan untuk mengejar uang semata sehingga tidak
ada waktu untuk membagi perasaan dengan dirinya. Anak diajak membeli
barang-barang terbaru dan mewah ntuk meletakkan dasar nilai bahwa kela ia dapat
membeli apapun jika mempunyai banyak harta. Sangat mungkin, terjadi pada usia
dini, anak sudah dilibatkan dalam usaha tersebut sehingga menyita waktu yang
seharusnya mereka gunakan bagi pertumbuhan sosialisasi. Pengembangan kompetensi
sosial anak pun menjadi terganggu. Dengan terlibatnya anak itu dalam usaha
ekonomi, ia bias saja mnedapat pujian dari keluarga atau pelanggan. Sehingga
terlihat malas dan lamban orangtua pun terkadang tidak segan untuk
menghukumnya. Hal ini semakin memperkuat citranya mengenai kekuatan uang, harta
dan kekayaan, di dalam hidupnya.
Ø
Mendewakan Prestasi
Olahraga[20]
Hal
yang perlu kita singgung disini adalah bagi anak, kegiatan olahraga juga dapat
sumber penghargaan dari teman-teman sebayanya. Lihat saja anak sekolah dasar
dan remaja yang menyediakan banyak waktunya untuk bermain bola, berenang atau
latihan bela diri, silat, tinju, karate, dan gulat. Mereka sulit membagi waktu
untuk kegiatan belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan
orangtua. Semua orang percaya difokuskan untuk mewujudkan cita-cita tersebut.
Tidak jarang terjadi konflik kepentingan dengan orangtua, yang bisa jadi
mengharapkan supaya anaknya berprestasi dalam bidang akademis.
Ø
Mengutamakan
Kecemerlangan Akademis[21]
Apabila
orangtua dan guru tidak memperlakukan anak yang demikian secara wajar atau
berlebihan, tentulah berkembang dalam dirinya gambaran mengenai “ dirinya” yang
kurang sehat. Maksud saya, prestasi akademis tersebut dijadikan sebagai dasar
harga diri yang pokok. Ia berjuang secara keras untuk meraih dan
mempertahankannya. Ketidaksempurnaan dalam prestasi belajar adalah musuh
besarnya. Si anak memandang dirinya begitu berarti karena ia pintar, dan
mendapat julukan atau label “anak cemerlang” atau “anak jenius”. Perlakuan
orang lain yang dirasakan begitu “special” ini tentunya dapat menimbulkan rasa
iri atau cemburu dalam diri anak-anak lain yang kurang cemerlang, baik di rumah
atau di sekolah. Sebab, pada umunya sekolah, anak yang kurang cemerlang secara
akademis dipandang oleh gurunya sebagai pemalas, kurang berusaha dan memiliki
“masa depan suram”.
1.4. Menuju Konsep Diri Positif
1.4.1. Mendengarkan Firman Tuhan[22]
Alkitab menyingkapkan kebenaran
mengenai rencana Allah bagi manusia. Didalamnya kita dapat penjelasan tentang
seharusnya kita berpikir, bersikap dan berperangai terhadap diri sendiri dan
sesame. Hanya Tuhanlah yang dapat menolong kita untuk dapat mengenal, menerima,
dan menghargai diri sendiri secara bai dan benar.
1.4.2. Saya Unik di Hadapan Tuhan[23]
Menurut Firman Tuhan, setiap orang
yang didunia ini unik. Allah mempunyai rencana yang khusus bagi kehidupan
setiap individu band. Mzm. 139:13, atas dasar itu kita harus memandang diri
sebagai pribadi unik.
1.4.3. Orang Berdosa Yang Allah Kasihi[24]
Pemahaman seperti itu membuat kita
menyadari dan mengerti bahwa sesame kitapun adalah orang-orang yang berdosa.
Apalagi terhadap mereka yang masih belum mempercayai Yesus Kristus sebagai
Tuhan, kita perlu sekali menjadi saksi yang hidup. Kabar baik patut kita sampaikan
kepada mereka supaya termotisivasi mencari dan membuka diri kepada Dia sehingga
akhirnya memperoleh pengampunan dosa. Meskipun mereka telah beriman dalan
Kristus mereka tetap sama seperti diri kita dalam proses perubahan. Sebagaimana
dikemukakan diatas siapa yang telah berada dalam Yesus ia adalah ciptaan baru
(2 Kor. 5:7).
1.4.4. Saya Berharga Dimata Tuhan[25]
Saya berharaga dimata Tuhan karena
telah dibenarkan oleh darah Yesus Kristus sekalipun dalam keadaan miskin secara
material. Saya berharga karena dosa dan pelanggaran saya telah dihapuskan serta
suara hati saya dibersihkan oleh darah Yesus, supaya selanjutnya layak
dipermuliakan. Saya berharga karena setelah mengaku Yesus Kristus sebagai juru
selamat pribadi, saya berkedudukan istimewa sebagai “anak Allah”. Saya berharga
karena Allah berkenan memanggil saya dan teman seiman saya yang lainnya menjadi
pelayan-Nya.
1.4.5. Saya Sedang Bertumbuh[26]
Seorang
yang bertumbuh dewasa juga mandiri dalam sikap dan pemikirannya, tetapi tetap
sadar betapa perlunya terikat dan bekerja sama dengan orang lain tampa takut
kehilangan relasi yang baik. Ia belajar hidup secara kreatif, kaya dengan
inisiatif, dan imajinasi. Ia memerdekakan dirinya dalam Kristus tidak mau
dibelenggu oleh perasaan takut bersalah karena mencoba hal-hal yang baru.
1.4.6.
Saya Tidak Dapat Hidup Sendirian[27]
Firman
Tuhan berkata bahwa tidak baik bila
manusia seorang diri. Karena itu Dia menciptakan penolong yang sepadan bagi
adam. Itu berarti selain membawa aspek individual, manusia berdimensi sosial.
Kita perlu menyadari rencana ilahi ini sehingga tidak mungkin lepas dari relasi
atau interaksi dengan orang lain. Bahkan kita senantiasa membutuhkan pribadi
lain bagi pembentukan diri seutuhnya, mencakup aspek pikiran (nalar), emosi,
kehendak, rohani, sosial, dan cultural. Kita adalah pribadi yang memiliki
kebergantungan kepada orang lain, baik dekat maupun jauh,baik dalam ruang,
lokasi, maupun waktu.
1.4.7. Saya
Dipimpin Roh Tuhan[28]
Mengenai hadirnya roh Allah dalam kehidupan
orang percaya tentu tidak rasional secara duniawi. Yesus sendiri mengatakan
bahwa dunia memang tidak mengenal roh kudus itu, tetapi Dia akan mendiami orang
percaya. Dunia, termasuk dunia pengetahuan modern, tidak mampu menerima kalau
penerimaan dan penghargaan diri orang akan berubah dan bertambah sehat apabila
roh Allah hadir dan bekerja dalam kehidupan mereka. Ilmu pengetahuan modern
mengusulkan bahwa supaya konsep diri orang bertambah baik ia harus mengubah
pola pikirnya lebih dahulu dengan menambah wawasan, meningkatkan kemampuan
logika dan mengikuti latihan-latihan mental dan emosional.
1.4.8.
Belajar Dari Pribadi Yesus Kristus[29]
Menurut
kitab injil, Yesus Kristus adalah manusia sejati yang dikandung perawan maria.
Dia dilahirkan, dipelihara, dan dibesarkan oleh keluarga Yusuf. Dikatakan dalam
injil Lukas, bahwa Yesus mengalami pertumbuhan dalam segi fisik, sosial, dan
spiritual. Dia juga bertumbuh dalam interaksi dengan orang-orang disekitarnya.
Kemudian disukai orang-orang yang melihatNya. Sebagai manusia sejati, Yesus
mengalami manusia sama seperti yang kita alami, artinya Dia bermain ketika
kecil, makan dan minum ketika lapar dan haus, istirahat dimalam hari ketika
dewasa pernah bekerja sebagai tukang kayu, sebelum secara penuh melatih para
rasul dan memberitakan injil kerajaan Allah.
Sebagai
manusia, secara emosional Dia bersedih, merasa heran, berbelas kasihan, dan
marah. Dia pernah marah ketika
menyaksikan Bait Suci Allah di Yerusalem digunakan sebaga tempat berjualan.
1.4.9. Maknanya Bagi Kita Dewasa Ini[30]
Kehidupan
seburuk apapun pada masa lalu dapat menjadi bagus dan indah kembali bersama
Yesus. Sifat dan watak yang bejat pada masa silam dapat diubah menjadi karakter
mulia karena pekerjaan rohNya. Selalu ada harapan bagi pemulihan perangai dalam
Yesus Kristus. Dalam persekutuan dengan dia kita dapat mengahrgai pemulihan
konsep diri. Dia yang akan memampukan kita untuk menerima dan menghargai diri,
sebab Dia sudah terlebih dahulu menerima dan menghargai kita apa adanya.
II. Perangai Ketertiban Hidup
Sikap
disiplin sesorang sebenarnya merupakan hasil pembentukan masa lalu yang dimulai
dalam keluarga asalnya. Banyak orang memahami disiplin sebagai perbuatan orang
tua yang menghajar anaknya karena kesalahan yang telah diperbuat, atau untuk
memberikan motivasi supaya menuruti aturan yang ditetapkan. Disiplin sebenarnya
mengarah kepada kesediaan belajar agar kita memiliki hati murid, tepatnya hati
yang selalu bersedia mengalami dan membawa perubahan (disciple). Alkitab
memberikan keterangan mengenai pribadi-pribadi yang karena kedisplinannya
berhasil menjadi alat efektif di tangan Tuhan misalnya, Daniel.[31] Adapun hal-hal yang penting dalam
membangunpribadi yang unggul, diantaranya:
Ø
Dimensi
hidup yang berubah
Banyak
dimensi kehidupan yang perlu terus kita perbaiki dan kembangkan. Semua Itu
dapat diupayakan ketika seseorang itu mengingat akan besarnya Anugerah Allah
yang memberikan waktu, keselamatan dan pembenaran demi memperoleh hidup yang
kekal.[32]
Ø
Kedisplinan
fisik
Kemampuan
mengelola anggota tubuh dengan baik dan benar menurut Rasul Paulus juga menjadi
“berita Injil” bagi sesama. Paulus menegaskan kepada orang percaya bahwa tubuh
kita dimaksudkan Tuhan untuk menjadi budak hawa nafsu dan kecemaran seperti
itu.orang yang menyadari tubuhnya sebagai tempat kediaman Allah serta sedang
dipergunakan untuk melayani akan termotivasi membersihkan diri secara benar.[33]
Ø
Urusan
Makan dan Minum
Gaya
hidup yang tidak tertib selalu membuat orang mudah mengalami berbagai penyakit
degenaratif seperti diabetes, asam urat, gagal ginjal, dan penyakit jantung
koroner. Terkait dengan hal makan dan minum, kita harus berkomitmen untuk
senantiasa mengucapkan syukur kepada Allah sumber segala berkat. Kita juga
memohon supaya menikmati hidangan, Tuhan menyatakan rahmat-Nya bagi sesame yang
berkekurangan.[34]
Ø
Aspek
pemilikan
Tuhan
menghendaki agar kita terus belajarmenjadi bendahara yang baik. Termotivasi
oleh keangkuhan, semua orang dapat tergoda untuk emanipulasi orang lain agar
menghormati, mengagumi bahkan bergantung kepada diri kita. Pada umumnya orang
memahami bahwa hidup dengan mencukupkan diri dianggap identik dengan kemiskinan
dan dalam menghadapi situasi itu, setiap orang harus menentukan sikap kreatif.
Firman Tuhan selalu menyatakan bahwa jika seseorang giat member kepada yang
membutuhkan maka dia akan mendapat upahnya.[35]
Ø
Dalam
Berkomunikasi
Seseorang
memahami aspek waktu dalam menyatakan perkataan yaitu ucapan yang tepat waktu
dan konteksnya sangat indah. Jadi, sebelum berbicara ada baiknya kita berpikir
dan membuat pertimbangan tentang efek dari perkataan. Menurut Yesus, ucapan
kita sebagai murid-Nya harus dapat dipercaya. Artinya kita harus belajar atau
membiasakan diri supaya jujur dalam perkataan. Sebab manusia itu sendirilah
yang bertanggung jawab atas hal yang kita ucapkan dihadapan Allah.[36]
Ø
Menggunakan
Waktu
Manusia
diciptakan Allah dalam ruang dan waktu. Sebab itu manusia adalah makhluk yang
terbatas dan berada dalam keterbatasan ruang dan waktu. Karena keterbatasan
itu, Tuhan inginkan supaya setiap orang dapat menjadai bendahara waktu. Dengan
kata lain, setiap orang harus dapat mengelola waktunya dengan baik. Sebagai
orang Kristen juga harus senantiasa membangun kekuatan dalam kasih karunia
Allah yang tersedia dalam Yesus kristus. Dalam ruang dan waktu yang Tuhan
berikan, setiap orang harus belajar mencari dan memahami kehendak Tuhan
mengenai beragam dimensi tugas dan panggilan hidup.[37]
Ø
Dalam
cara berfikir
Allah menciptakan
manusia sebagai makhluk berakal budi, supaya mampu memahami pikiran dan
kehendaknya dan sanggup membedakan yang baik dan buruk. Alkitab mengajarkan
bahwa Allah ingin supaya kita menggunakan dan meningkatkan kemampuan nalar.
Namun, walaupun begitu, sebaiknya pikiran kita tidak membuat sok pintar dalam segala hal atau merasa
lebih dari siapapun.[38]
Ø
Mengelola
emosi dengan benar
Aspek yang tidak kalh
pentingnya untuk membuat seseorang disiplin adalah emosi. Sebaiknya harus
diakui bahwa dalam kenyataan sehari-hari kita tidak memakai nalar berkaitan
dengan pengendalian emosi. Sama seperti fikiran yang harus tunduk dibawah
ketuhanan Kristus dan diterangi oleh
firman Allah, begitu juga dengan emosi cinta. [39]
Ø
Dalam
kehidupan spiritual
Setiap orang memiliki
roh dalam pribadinya, karena dengan adanya dimensi roh dalam diri kita menjadi
bukti bahwa Allah yang menciptakan manusia dari debu tanah dan meniupkan napas
hidup dalam dirinya sehingga menjadi makhluk hidup. Beberapa hal yang tidak
dapat terpisahkan dengan keadaan rohani, yakni:
v
Kondisi
pikiran,
v
Perasaan
v
Sikap
v
Perbuatan
v
Jasmani
Meskipun
roh kita yang berkomunikasi dengan Tuhan tetapi kelima hal diatas selalu ikut
terlibat. Ada banyak cara yang dapat tempuh agar spritualitas sesuai dengan
ajaran firman Tuhan, diantaranya adalah:
ü
Melalui
aktivitas doa, baik secara pribadi maupun bersama-sama saudara seiman.
ü
Melaui
nyanyian dan pujian kepada Tuhan.
ü
Melalui
pembacaan dan perenungan firman Tuhan.
ü
Dalam
hal berpuasa
ü
Melalui
percakapan dan diskusi, dialog, sharing dengan rekanrekan seiman.
ü
Melalui
tindakan nyata, bertumbuh melalui perbuatan kasih kepada orang lain terutama
kepada saudara seiman.[40]
Ø
Kiat-kiat
untuk berubah
Ada
sejumlah saran dibawah ini yang dapat dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan
diri di bidang kedisplinan:
§
Menginsafi
kelemahan diri dalam masalah ketertiban hidup atau disiplin.
§
Mengemukakan
diri tentang apa yang akan dirubah.
§
Berdoa
kepada Tuhan memohon pertolongan-Nya dalam menjalani perubahan hidup kita.
§
Bertindaklah
dan terus belajar dari waktu kewaktu.
Jika
disiplin memang merupakan nilai hidup, orang tua dirumah harus bertindak
sebagai teladan dalam ketertiban hidup, termasuk dalam perkataan, sikap ,
pengelolaan waktu, dan tubuh. Orang tua berperan sebagai model dan pengarah
disiplin bagi anak-anaknya, orang tuas mengajari dan melatih agar anak
berdisiplin dalam banyak aspek, antara lain:
1.
Buang
air besar.
2.
Berbicara
atau bertutur kata
3.
Menata
ruangan agar tidak acak-acakan
4.
Kebersihan
tubuh dan ruangan
5.
Istirahat
6.
Makan
dan minum
7.
Belajar
dan bermain secara seimbang
8.
Menonton
televisi atau bermain game computer
9.
Menggunakan
uang
10. Bergaul dengan orang
lain
11. Ibadah, berdoa, belajar
firman Tuhan.[41]
II. Karakter dalam Akhlak Pengendalian Diri
Ada banyak
aspek yang mempengaruhi keberhasilan orang dalam meraih cita-cita dalam
mewujudkan impiannya. Kepintaran atau kecerdasan intelektual adalah salah satu
diantaranya. Namun cerdas saja tidak mencukupi. Adanya modal keuangan yang
memadai juga ikut menentukan. Kemampuan berkomunikasi dan berelasi dengan baik,
serta kesehatan fisik sering turut pula menentukan kesuksesan hidup seseorang.
Namun salah satu sapek yang tidak kalah pentingnya dalam menghadapi berbagai
masalah hidup adalah pengendalian diri.[42]
Permasalahan kita
Negara dan
bangsa ini terus menerus dalam keadaan terpuruk karena para pejabat banyak yang
tadinya mengaku berkemampuan, jujur, adil, dan berkomitmen, tidak mampu
mengendalikan diri. Mereka yang giat dalam pelayanan gerejawi juga tidak
sedikit yang lemah dalam pengendalian diri. Demikian juga dengan keakraban
relasia antara pria dan wanita dengan kurangnya pemahaman akan nilai
pengendalian diri.
Penguasaan diri dan menjadi tenang
atau waras dalam pikiran merupakan dua unsur yang diperlukan agar kita dapat
menyatakan isi hati dan permohonan kepada Tuhanmelalui doa. Dengan hal ini,
kita benar-benar menyadari hal yang kita sampaikan kepada-Nya. Kita juga perlu
membangun pengendalian diri dengan pikiran jernih, pertimbangan yang matang,
disamping dilandasi kemampuat yang kuat. Dimana ada kehendak, disitulah
bertumbuh kemampuan. Rasul Paulus menyatakan komitmen untuk mengendalikan
dirinya dalam segala hal demi pemberitaan Injil (1 Kor. 9:24-27).[43]
Contoh-contoh dalam Alkitab
Kitab
Amsal menyatakan bahwa orang yang mengeuasai diri melebihi orang yang merebut
kota. Tepatnya ditluiskan: “orang sabarmelebihi soorang pahlawan, orang yang
menguasai diriny a melebih orang yang merebut kota” (Ams. 16:23). Contoh pertama, adlah tentang Adam dan
Hawa di taman eden. Hawa tergoda oleh pengelihatannya. Kedua, kasus antara Kain yang membunuh adiknya, Habel yang pada
saat itu. Ketiga, cerita tentang Musa
yang turun dari gunung Sinai, ia memecahhkan dua loh batu yang berisi Taurat
Tuhan. Musa kecewa terhadap kakaknya, Harun yang membiarkan umat itu membangun
berhala berbentuk lembu nyata tidak memiliki dari emas. Keempat, kisah tentang Yusuf dirumah Potifar. Kelima,
kisah Daniel dan kawan-kawan di Babel idak bisa. Pada saat Daniel dan kawan-kawan sadar bahwa makanan yang
mereka makan itu sudah lebih dahulu dipersembahkan kepada paradewa Babel. Keenam, mengenai raja Daud yang lengah
berzina dengan Batsyeba, istri Uria. Dan
yang terakhir adalah YudaS Iskariot,
yang tidak mampu mangendalikan kekecewaannya, kemudian menjual yang baru kepada
para iman Yahudi dengan harga tiga puluh keping perak saja.[44]
Harus belajar dari Tuhan Yesus
Kitab
Injil mengajarkan kepada kita bahwa jika mau belajar mengenai pengendalian
diri, kita harus datang kepada Yesus Kristus. “Marilah kepadaKu ... belajarlah kepadaKu sebab Aku lemah lembut dan
rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat. 11:28-30). Yesus
tidak hanya pintar bicara! Dia mendemonstrasikan teladan hidup ketika diri-Nya
ditolak di Nazaret.
Ketenangan diri Yesus jugadilaporkan
mengemukan ketika paramjrid begitu ketakutan karena badai di danau, tempat
airnya hampir menenggelamkan perahu. Selanjutnya, Yesus memberi contoh cara
mengendalikan diri dalam penggunaan waktu. Dengan cara bangun pagi-pagi sekali
dan pergi ke tempat sepi untuk berkomunikasi dengan Bapa di Sorga (Mrk. 1:35).
Juga Yesus mendesaakagar kita menguasai diri dalam perkataan, karena hal yang
kita ucapkan harus kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah (Mat. 12:37).
Menjaga hati dengan segala kewaspadaan (Mrk. 7:20-23; bnd. Ams. 4:23). Menjaga
lidah agar tidak mengucapkan kutuk terhadap sesama, dan mengucapkan hal-hal
dusta.
Penguasaan atau pengendalian diri
Yesus tampak ketika Diamenghadapi pengadilan Pilatus dan Herodes (Yoh. 18:38).
Lalu ketenanggan lainnya adalah ketika Yesus disalib, Dia berbicara kepada para
murid dan ibunya, Maria (Yoh. 18:25-27).
Betapa mengagumkan pengendalian diriNya (Luk. 23:39-43).[45]
Apa yang harus kita lakukan?
Berikut
adalah sejumlah prinsip yang penting yang dapat membantu:
1.
Terus
memandang diri telah tersalib bersama Yesus dalam hal kedagingan. Pandang diri
senantiasa telah menjadi satu dengan Yesus Kristus dalam penyalibanNya.
2.
Beri
diri supaya selalu hidup oleh Roh Allah dan dipimpin oleh Nya. Kekuatan bahkan
perangai untuk melakukannya datang dari pertolongan Roh Allah!
3.
Meminta
kepada Tuhan agar dikaruniakan sifat penguasaan atas pengendalian diri dengan
pengucapan syukur (band. Flp. 4:6, 13)
4.
Nyatakan
bahwa Allah bukan memberikan roh kelemahan melainkan kekuatan, kasih, dan
pengendalian diri (2 Tim. 1:7)
5.
Serahkan
seluruh anggota tubuh,pikiran, emosi, dan suara hati kepada Tuhan sebagai
persembahan yang kudus kepada Dia.
Akhirnya, bangun
persahabatan
dengan sekelompok teman seiman untuk menumbuhkan iman dan karakter secara
bersama-sama. Kita harus menanamkan kesadaran dalam pikiran, Tuhan memakai
orang lain, juga keadaan yang baik dan tidak baik untuk membentuk dan membangun
karakter serta moral kita.[46]
IV. Tangapan
Kesegambaran Allah dalam pribadi
manusia menunjukkan secara spiritual bahwa manusia dibentuk untuk sebuah
kehidupan yang lebih sempurna dibandingkan dengan kehidupan badaniah yang fana
untuk menjadi karakter yang unggul sama dengan yang diperintahkan Allah. Oleh
karena itu Luther memahami manusia sebagai gambar Allah bukan hanya mengenal
dan percaya kepada Allah saja, melainkan manusia juga hidup di dalam suatu
kehidupan yang sama sekali ilahi.[47] Karakter Manusia
dianugerahi secara alami dengan kebaikan sejati yang merupakan mahkota
kemenangan dari Imago Dei, dan secara konsekuen hidup dalam kekudusan yang
positif. Manusia sebagai Imago Dei
diciptakan abadi yang pada hakikatnya tidak hanya untuk jiwa manusia itu sendiri,
melainkan kelanjutan ekistensi manusia sebagai penyandang Imago Dei tersebut.
Dalam kepemilikan Imago Dei, manusia dapat dikatakan sama seperti malaikat yang
hanya memiliki perbedaan yang sangat sedikit.[48]
Seperti yang kita
ketahui bahwa moral adalah sikap dan perbuatan kita yang kita lakukan sesuai
dengan norma atau hukum batiniah kita yang kita yakini sebagai kewajiban kita.
Dalam hal ini moral tidak dilakukan atas tekanan atau perintah dari hukum yang
berlaku, namun atas kesadaran bahwa hal tersebut adalah baik dan wajib untuk
dilakukan. Dalam hal ini moral akan diberlakukan sesuai dengan kesungguhan dan
kewajiban dalam diri sendiri. Oleh karena moral bergerak dari kewajiban, maka
kewajiban itu juga dapat berasal dari luar diri, misalnya dalam usaha mencapai
tujuan tertentu dalam sebuah kelompok sosial, atau dilakukan karena perasaan
takut terhadap pemberi kewajiban itu. Namun moral juga memiliki dimensi
kesadaran diri sendiri, yaitu kesadaran bahwa apa yang akan dilakukan itu
dipandang baik. Namun, manusia adalah makhluk yang memiliki nafsu,
kecenderungan emosional, selera dan cinta diri. Dalam hal ini ada kemungkinan
terjadi tindakan sewenang-wenang. Oleh karena itulah manusia memerlukan prinsip
yang mengatur agar terlepas dari dorongan di atas[49].
Krisis
moral dapat terjadi ketika kontrol diri tidak dapat lagi diatasi oleh seorang
pemimpin. Thomas Hobbes berpikir
bahwa ada egoisme psikologis, yaitu
keinginan manusia untuk memenuhi hasrat dalam dirinya untuk mendapatkan
keuntungan atau kepuasan psikologis, sehingga mendorong manusia untuk memuaskannya[50].
Selain itu, egoisme etis juga sangat
berpengaruh yaitu ketika kita diperhadapkan dengan suatu pilihan antara
kepentingan kita dan kepentingan orang lain di luar kita. Moralitas berusaha
menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan etis dan kebutuhan di luar. Egoisme etis
mengajarkan bahwa manusia, dalam mengejar kepentingan diri, selalu melakukan
apa yang ia inginkan dan memberikan kesenangan paling banyak dalam jangka
pendek[51].
Dalam
penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa ada kecenderungan manusia, dalam
pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Hal ini sesuai dengan keberadaan moral bahwa
kewajiban untuk melaksanakannya terletak pada kesadaran bahwa hal itu adalah
baik. Pengambilan keputusan akan terbentur pada pilihan-pilihan yang ada di
depan mata. Krisis moral akan terjadi begitu manusia mulai didominasi dengan
dorongan-dorongan egosentris sehingga diri sendiri adalah prioritas dan yang
lain adalah pelengkap untuk mencapai pemenuhan kebutuhan tersebut.Oleh karena
itu, dalam pelaksanaan moral diperlukan sebuah dorongan dari luar berupa
nilai-nilai yang disepakati secara umum oleh masyarakat tertentu yang
meletakkan posisi kepentingan pribadi dan kepentingan sosial secara berimbang. Moralitas membantu pribadi
untuk selalu
memperbaiki segala sesuatunya sesuai dengan pertanggung jawaban, baik terhadap
diri sendiri maupun yang berada di luar dirinya. Moralitas yang tinggi dari
seorang pribadi dapat dilihat dari sikap nya, apakah pribadi hadir sebagai
teladan yang mendapatkan pujian atau tidak. Terlebih lagi dalam sikap pribadi ketika menghadapi permasalahan[52]. Pribadi yang bermoralitas tinggi menyadari bahwa ia telah dipanggil oleh Allah.
Selain itu membentuk karakter yang unggul harus dilihat latarbelakang
spritualitas nya sebab Kehidupan
spiritual tidaklah bertentangan dengan kehidupan kodrati manusia, tetapi tumbuh
dan menjadi dewasa dalam keserasian dalm kehidupan kodrati. Melalui kehidupan
spiritual manusia memasuki pengetahuan dan cinta yang melebihi kodrat. Di sini
dia berpikir dan bertindak tidak atas budaya dan nalar melainkan atas dasar
iman[53]. Selain itu Dalam
upaya memperoleh sosok pribadi yang unggul , proses pertumbuhan dan
perkembangan kepribadian mutlak harus dipengaruhi. Lingkungan hidup anak
yang utama dan paling ideal adalah lungkungan orang tua, lingkungan keluarga
yang menjadi sumber yang melakukan tindakan terhadap anak yang sedang tumbuh
dan berkembang[54].
V.
Kesimpulan
► Watak sangat erat
hubungan nya nilai dan norma yang mengatur
kehidupan manusia.
► Watak dan tata nilai
tidak lepas dari Iman
► Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Dan
Pengembangan Watak adalah lingkungan
► kehidupan waktu dan
faktor Kedagingan
► Membentuk karakter yang unggul harus
berpedoman pada pendekatan diri kepada Firman Allah
► Firman Allah mempengaruhi
spritualitas karakter manusia
[1]
Sebagai bandingan saja, menurut ensiklopedi pendidikan, watak adalah “Struktur
Rohani yang tampak pada kelakuan, perbuatan, dan terbentuk karena pembawaan.”
[2]
B. S. Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2011, hal.
4
[3]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hlm. 7
[4]
Bishop N.T. Wright melalui karyanya After You Believe: Why Christian Character
Matters (Harper One, 2010) membicarakan perkara yang sangat penting yaitu orang
Kristen mengalami pembaharuan hidup karena anugerah Allah didalam dan melalui
Yesus Kristus, agar selanjutnya mengalami transformasi karakter sesuai dengan
ajaran dan teladan Yesus Kristus.
[5]
David W. Gill, Becoming Good: Building Moral Character (Downers Grove, I1.:
IVP, 2000), hlm. 35-42.
[6]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 31
[7]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 32
[8]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 43
[9]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 45-47
[10]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 48-50
[11]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 51-52
[12]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 53-55
[13]
Karena alam semesta dan manusia adalah ciptaan Allah, kedaulatan Allah berlaku
di dalamnya. Walaupun manusia sudah jatuh dalam dosa dan dosa memengaruhi
seluruh aspek kehidupan manusia dan alam ini, Allah tetap memeliharanya. Bahkan
Allah hadir melalui kedatangan Yesus Kristus dan oleh Roh Kudus yang bekerja
sampai saat ini (band. Yoh. 16:6-13). Mengenai kedaulatan Allah dalam berbagai
kesulitan kehidupan ini lihat uraian James Dobson, dalam Kala Tuhan tidak dipahami (terj.). (Jakarta: Penerbit ABDI TANDUR, 1993); dan Disaat Kehidupan menjadi sulit.(terj.)(Jakarta: Binarupa Aksara,
1996).
[14]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 58
[15]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 69-73
[16]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 86-87
[17]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 89
[18]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 91
[19]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 92
[20]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 94
[21]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 96
[22]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 102
[23]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 103
[24]
B. S. Sidjabat, Ibid.
[25]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 105
[26]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 109
[27]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 111
[28]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 114
[29]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 120
[30]
B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 140
[31]
Hlm. 145-147
[32]
Hlm. 148.
[33]
Hlm. 149-150
[34]
Hlm. 151152
[35]
154-155.
[36]
156.
[37]
158-160.
[38]
162-163.
[39]
164-168
[40]
170-174.
[41]
175-179
[42]
Hlm. 241-243
[43]
Hlm. 243-247
[44]
Hlm. 247-252
[45]
Hlm. 252-256
[46]
Hlm. 256-259
[47]
Lih Jeroslav Pelikan (ed), Luther’s Works Vol. I Lectures on Genesis 1-5 (Saint
Louis-Missouri: Concordia Publishing
House, 1958) hlm. 62-63
[48]
Lih Reinhold Neibuhr, The
Nature and Destiny–A Christian Interpretation Vol I (NewYork: Charles
Scribner’s Sons, 1964) halm. 207
[49]
Lih. Lili Tjahjadi, Hukum Moral,
(Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1991), hlm. 47-49
[50]
Lih. James Rachels, Filsafat Moral,
(Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 126
[51]
Lih. Ibid, hlm. 146-147
[52]
Lih. Kartini Kartono, Pribadi dan Kepribadian,
(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 85
[54]
Lih Singgih D. Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut, BPK-GM,
Jakarta: 2004, hlm 388
Tidak ada komentar:
Posting Komentar