Kamis, 14 Juni 2012

MEMBANGUN PRIBADI UNGGUL


MEMBANGUN PRIBADI UNGGUL
(B. S. Sidjabat,  ANDI, Yogyakarta: 2011)


I.       Isi
1.1 Apa itu Watak?
Secara singkat dapat dikemukakan bahwa istilah watak mengandung arti sifat, tabiat, atau kebiasaan dalam diri dan kehidupan kita. Salah satu pertanyaan yang lazim diajukan orang adalah: bagaiman watak hadir, terbentuk dan berkembang dalam kehidupan kita? Pada dasarnya, watak bertumbuh dan berkembang melalui proses belajar (sosialisasi) dalam lingkungan tempat kita dibesarkan.[1]
Watak erat hubungannya dengan tata nilai. Ahli filsafat M. Sastrapratedja mengemukakan bahwa kita berbicara tentang nilai, harus ada sejumlah perkara yang patut kita perhatikan[2]. Pertama, nilai dipilih seseorang untuk dipegang, diinternalisasi dan dipelihara; kedua, nilai dipilih untuk dipelihara setelah mempertimbangkan berbagai alternatif yang ada; ketiga, orang memilih nilai setelah mempertimbangkan akibatnya; keempat, hal yang dianggap orang bernilai akan diwujudkannya dalam kehidupannya sehari-hari; kelima, nilai merupakan kaidah hidup bagi yang menganutnya; keenam, nilai merupakan hal yang positif sehingga dihargai, dipelihara, diagungkan, dihormati, bahkan membuat puas dan bersyukur; ketujuh, nilai membuat orang berani menyatakan dirinya dihadapan orang lain; akhirnya, nilai membuat orang mengembangkan kepribadiannya. Pakar pendidikan nilai, Milton Rokeach mengemukakan dua jenis saja nilai dalam hidup ini. Pertama, nilai tertinggi yang menjadi tujuan akhir kehidupan ( Terminal Values). Maksudnya, orang hidup dalam dunia ini dan bertujuan semata-mata untuk mencapai atau mewujudkan nilai-nilai itu seperti: kehidupan bahagia yang damai sejahtera. Kedua, nilai hidup sebagai alat atau instrument dalam rangka mewujudkan tujuan akhir tadi (Instrumental Values). Ambisi, pola berpikir luas, sikap jujur misalnya, tidak berdiri sendiri melainkan lazimnya merupakan sarana untuk mewujudkan kebahagiaan. Seseorang mengembangkan kesanggupan dan keberanian atau ketaatan, tapi tujuan akhirnya untuk apa? Seseorang hidup dengan nilai kemandirian dan kesopanan, mungkin saja untuk memperoleh pengakuan social dan penghargaan masyarakat.
Watak dan tata nilai tidak lepas dari Iman[3]. Corak dan warna dari akhlak dan tata nilai kita iktu serta membentuk cara beriman kepada Allah dan firman-Nya. Sebaliknya, kualitas iman dan keyakinan pun turut memengaruhi watak, nilai hidup dan moral kita. Iman dapat kita anggap sebagai sumber atau norma bagi moral, watak dan tata nilai. Hal yang kita imani atau kepada apa dan kepada siapa kita beriman, turut menguasai watak, nilai dan moral. Sebagaimana telah disinggung bahwa jika kita beriman kepada Allah didalam dan melalui Yesus Kristus, oleh pertolongan Roh Kudus watak, nilai hidup, dan moralitas kita sedikit banyak menjadi berbeda dengan mereka yang tidak beriman kepada-Nya[4]
Watak dan moral terkait sangat erat pula. Memahami moral tidak cukup hanya dari aspek perbuatan atau tingkah laku yang tampak dalam kehidupan sehari-hari. Moral pun merupakan pemikiran. Artinya, moral juga berkaitan dengan penalaran atau pemikiran seperti tampak dalam pengambilan keputusan tentang hal yang baik dan hal yang bukan. Moral terkait juga dengan potensi dalam diri manusia. Maksudnya, pada setiap orang terdapat potensi atau etis untuk berbuat baik, setidaknya untuk orang-orang yang tidak dikenal, dihargai dan dikasihinya. Adanya potensi moral amat sesuai dengan ajaran Alkitab yang mengaskan bahwa manusia dalah ciptaan-Nya dan membawa rupa serta gambar Allah (Immago dei) sang khalik (Kejadian 1:26-27).
1.2.            Dinamika Pembentukan Karakter
            David W. Gill[5] mengemukakan enam aspek yang turut membentuk perangai manusia, yaitu : 1) aspek genetis dan sifat manusia kita yang berdosa; 2) karya Allah yang sedang menguduskan kita; 3) pengasuhan orang-orang yang tidak kita pilih; 4) pengaruh dari orang-orang yang kita pilih; 5) pengaruh budaya baik yang kita pilih maupun yang tidak; 6) pilihan pribadi untuk menjadi seperti yang kita ingini.
1.2.1        Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Dan Pengembangan Watak[6]
Cacat jasmani kemerosotan kekuatan fisiologis dapat menimbulkan gangguan psikologis, seperti mudah emosi, dilanda oleh kepedihan dan ketakutan. Jika sejak lahir orang sudah menderita gangguan mental, bagaimana mungkin mereka mengalami perubahan secara positif dengan pesat? Orang yang dilahirkan dengan kondisi tubuh tidak normal, sedikit banyak mengalami masalah dalam pertumbuhan karakternya.

1.2.2.      Faktor lingkungan sosial[7]
Sebagaimana disinggung dalam bab sebelumnya, keluarga adalah lingkungan awal pembentuk sikap, pola piker dan kebiasaan hidup kita. Ayah, ibu atau mereka yang telah membesarkan menanamkan pengaruh melalui tindakan disiplin, lewat perkataan dan perbuataan serta keteladanan. Penjelasan diatas hendak mengemukakan bahwa watak kita dibentuk oleh orang-orang yang megasuh dan memberikan pengaruhnya. Kemungkinan pertama, orang-orang itu tidak kita pilih atas kesadaran diri. Misalnya, tidak ada bayi atau anak, yang memilih dilahirkan dan dibesarkan oleh orang tua atau pengasuh tertentu. Tidak ada bayi dan anak yang mampu membuat pilihan agar dibesarkan dalam budaya dan tradisi etnis atau masyarakat tertentu. Anak usia sekolah dasar pada umumnya tidak mampu membuat pilihan untuk membuka diri terhadap pengaruh guru dan teman sekelas yang sesuai keinginan hatinya. Mereka berada dalam lingkungan sosial itu.

1.2.3.      Krisis Kehidupan[8]
Prinsip yang penting lagi dalam situasi menantang adalah kita harus belajar bersikap dan bertindak arif. Jelas kita membutuhkan pertolongan lewat komunitas persekutuan dengan kawan-kawan yang sehati dan sepikir. Kita juga harus mengandalkan Tuhan Sumber Hikmat dan Kekuatan, supaya memiliki kesanggupan membedakan (spirit of discernment) mana yang baik dan mana yang buruk.
1.2.4.      Faktor Waktu (Kronos)[9]
Makin dewasa seseorang secara fisik, diharapkan semakin dewasa pula pemikiran, sikap sosial dan spritualitasnya. Sebab, pengalaman hidup dan wawasan mereka lebih kaya dibandingkan dengan anak-anak. Tidak mengherankan melihat bahwa budi pekerti anak-anak berbeda dengan orang dewasa, karena factor waktu dan usia. Pengalaman hidup dalam artian positif maupun negative dari kedua generasi tersebut itu berbeda. Perangai remaja berbeda dengan akhlak orang dewasa. Rasul Paulus pernah mengakui hal semacam itu, ketika menuliskan: “Ketika aku anak-anak, aku berkata seperti kanak-kanak, aku merasa seperti kanak-kanak, aku berpikir seperti kanak-kanak. Sekarang, sesudah aku menjadi dewasa, aku meninggalkan sifat kank-kanak itu” (1 Korintus 13:11).
1.2.5.      Intervensi Iblis[10]
Namun, tanpa mengabaikan kebenaran pandangan pengetahuan sosial tadi, kita perlu mendengarkan keterangan Firman Tuhan. Alkitab mengajarkan bahwa kehidupan di dunia ini berada dalam peperangan roahani. Iblis selalu mencari upaya melumpuhkan iman kita kepada Tuhan dan firman-Nya. Iblis dan roh-roh jahat berusaha membuat kita ragu, bimbang dan bahkan tidak lagi mengakui kasih dan kebenaran Tuhan. Perubahan hidup ke arah yang lebih baik menjadi agak sulit oleh karena iblis tidak senang atas kehidupan demikian. Menurut Tuhan Yesus, iblis adalah “Bapa segala dusta” yang menyesatkan.”… ia adalah pembunuh manusia sejak semula dan tidak hidup dalam kebenaran, sebab dalam dia tidak ada kebenaran. apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.” (Yohanes 8:44).
1.2.6.      Faktor Kedagingan[11]
Hidup dalam kedagingan disebut juga hidup secara duniawi, seperti yang dialami oleh jemaat perdana di Korintus. Mereka sudah percaya kepada Tuhan Yesus. Namun, gaya hidup atau pola pikir mereka belum mengikuti gaya hidup yang diteladankan Kristus. Gaya hidup yang diajarkan oleh nilai budaya (Yunani / Yahudi) masih mengemuka dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam memandang dan menilai sesamanya. Cara memandang sesamanya dipengaruhi oleh pandangan hidup dan nilai budaya, termasuk kebiasaan menonjolkan tokoh tertentu. Akibatnya, warga jemaat disana dahulu hidup dalam perseteruan, perselisihan (1 Korintus 3:3-4). Keduniawian itu juga mengakibatkan mereka terus kalah terhadap godaan termasuk percabulan (1 Korintus 6:12-20), dan penyembahan berhala (1 Korintus 8:1-13).
1.2.7.      Pemeliharaan Tuhan[12]
Pemahaman tentang kedaulatan, kesetiaan dan pemeliharaan (providensia Allah)[13] sangat mendasar dalam kehidupan kita. Apabila hanya mengandalkan kekuatan diri sendiri, kita sulit mengalami perubahan hidup ke arah yang positif. Sebab, begitu banyak kendala atau hambatan yang selalu menantang dan memengaruhi perbuatan itu. Termasuk gangguan roh jahat yang sudah disinggung tadi. Namun, syukurlah bahwa Allah bekerja di dalam dan melalui kehidupan kita (Flp 2:13). Allah senantiasa hadir bersama kita (Immanuel) oleh rohnya yang kudus. Selanjutnya Allah tetap melakukan intervensi meski tidak mudah kita saksikan.
1.3.        Watak dan Konsep Diri Negatif
1.3.1. Pengertian Konsep Diri[14]
            Konsep atau citra diri adalah gambaran (image) yang kita peroleh, kita miliki dan kita kembangkan mengenai diri sendiri. Semacam pemahaman aku menurut aku tentang diriku. Jika diminta, setiap orang dapat member penjelasan atau keterangan mengenai siapa dirinya berdasarkan gambaran diri yang dimilikinya. Pada umunya gambaran dri itu muncul karena pertimbangan ( konseptualisasi) dan kebutuhan dalam mancari gambaran aku ideal dalam diri sendiri. Namun, gambaran diri itu dapat pula bertumbuh berdasarkan tuntutan, harapan dan keinginan orang lain.
1.3.2.      Dua Macam Konsep Diri[15]
Ø      Konsep Diri Positif
Konsep diri membuat kita sanggup mengenal dan menerima seluruh keberadaan diri, kekurangan atau kelebihannya, dikenal dengan konsep diri positif. Artinya, kita merasa senang dengan diri sendiri,  meskipun telah melalui masa lampau yang kurang atau tidak menyenangkan. Termasuk relasi yang tidak sehat dengan orangtua, teman-teman atau guru bahkan terhadap saudara-saudara maupun keluarga. Konsep diri positif memampukan kita keluar dari akar pahit, kekecewaan, dendam, perasaan cemas atau takut. Kita dapat berpikir secara kreatif mengenai semua kesan dan peristiwa masa lampau. Dari semua pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, kita dapat melihat makna yang baik, menarik dan bahkan berguna bagi kehidupan sekarang dan masa depan.
Ø      Konsep Diri Negatif
Konsep diri negatif biasanya sulit untuk memampukan kita menyelesaikan permasalahan dan persoalan kehidupan secara efektif. Perangai semacam itu justru dapat memengaruhi kualitas tugas dan pekerjaan karena terus-menerus dilanda perasaan kurang percaya diri. Takut bekerjasama atau berkompetisi secara sehat dengan orang sekitar. Ketika harus bekerja sama kita sulit menerima saran dari rekan-rekan. Mempertahankan pendapat walaupun keliru. Munculnya ketakutan jika berbagai kekurangan akan terlihat oleh kwan-kawan kemudian mereka akan mengkritik dan menjauhi.
1.3.3.      Pengaruh Kuasa Kegelapan[16]
Dari sudut ajaran alkitab kita tahu bahwa iblis dan kuasa roh-roh jahat nyata. Iblis sering menyamar sebagai malaikat terang, memberikan keinginan kepada manusia asal saja mereka menjadi miliknya (band. Yoh. 8:44; Ef. 6:11-13). Bahkan iblis pun menawarkan pertolongan kepada Yesus agar Dia menjadi terkenal, dikagumi banyak orang, mudah didengar dan diterima oleh mereka. Namun, Yesus menolak bantuin itu. Dia juga menolak bantuan roh jahat dalam memproklamasikan diriNya (Mat 4:1-11), alasannya Yesus tahu bahwa Iblis adalah bapa segala dusta bahkan pembunuh manusia ( Yoh. 8:44). Yesus dating untuk menghancurkankuasa si jahat itu, supaya yang percaya kepadaNya menikmati kemerdekaan hidup.
1.3.4.      Beberapa Penghargaan Diri Keliru
Ø      Meninggikan Kecantikan Wajah[17]
Pembandingan yang dinyatakan orangtua melaui perkataan maupun perbuatan, lazimnya melahirkan rasa cemburu atau iri hati dalam diri anak yang merasa kurang cantik. Si anak merenung apakah sesungguhnya dilahirkan oleh ibunya sendiri atau tidak. Ia mempertanyakan keaslian dirinya, apakah anak angkat atau bukan. Mungkin pula ia terus memandangi dirinya di depan cermin dan melihat segala kekurangannya secara fisik sehingga tidak mampu bersyukur kepada Tuhan.
Ø      Menyangkut Ketampanan Fisik[18]
Sebagaimana halnya dengan perempuan cantik, laki-laki yang ganteng juga banyak mengalami gangguan kepribadian karena tidak mampu menerinma dirinya apa adanya. Semua perhatian dan energy dipusatkan untuk membuat dirinya tampil sebagai lelkai idaman atau macho yang dikagumi oleh lawan jenis secara khususnya. Perhatiannya untuk meningkatkan diri dalam aspek lain seperti dalam keterampilan olahraga, bekerja sama dengan teman-teman sebaya dan kesediaan mengakui kelebihan orang lain menjadi terhambat. Jika keuangannya memungkinkan ia cukup mentraktir bahkan membayar apa saja sejumlah orang agar selalu hadir disampingnya untuk mengakui kehebatan atau melindungi dirinya dari sikap orang yang mungkin meremehkan.
Ø      Mengagungkan Kekayaan[19]
Orangtua dapat menancapkan benih dasar harga diri keliru melalui sikap berlebihan dalam bekerja, seperti dalam dunia dagang dan pekerjaan lainnya yang memberi keuntungan financial yang cukup besar. Secara perlahan anak menyimak bahwa tenaga orangtua sepenuhnya dicurahkan untuk mengejar uang semata sehingga tidak ada waktu untuk membagi perasaan dengan dirinya. Anak diajak membeli barang-barang terbaru dan mewah ntuk meletakkan dasar nilai bahwa kela ia dapat membeli apapun jika mempunyai banyak harta. Sangat mungkin, terjadi pada usia dini, anak sudah dilibatkan dalam usaha tersebut sehingga menyita waktu yang seharusnya mereka gunakan bagi pertumbuhan sosialisasi. Pengembangan kompetensi sosial anak pun menjadi terganggu. Dengan terlibatnya anak itu dalam usaha ekonomi, ia bias saja mnedapat pujian dari keluarga atau pelanggan. Sehingga terlihat malas dan lamban orangtua pun terkadang tidak segan untuk menghukumnya. Hal ini semakin memperkuat citranya mengenai kekuatan uang, harta dan kekayaan, di dalam hidupnya.      
Ø      Mendewakan Prestasi Olahraga[20]
Hal yang perlu kita singgung disini adalah bagi anak, kegiatan olahraga juga dapat sumber penghargaan dari teman-teman sebayanya. Lihat saja anak sekolah dasar dan remaja yang menyediakan banyak waktunya untuk bermain bola, berenang atau latihan bela diri, silat, tinju, karate, dan gulat. Mereka sulit membagi waktu untuk kegiatan belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah yang ditugaskan orangtua. Semua orang percaya difokuskan untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Tidak jarang terjadi konflik kepentingan dengan orangtua, yang bisa jadi mengharapkan supaya anaknya berprestasi dalam bidang akademis.
Ø      Mengutamakan Kecemerlangan Akademis[21]
Apabila orangtua dan guru tidak memperlakukan anak yang demikian secara wajar atau berlebihan, tentulah berkembang dalam dirinya gambaran mengenai “ dirinya” yang kurang sehat. Maksud saya, prestasi akademis tersebut dijadikan sebagai dasar harga diri yang pokok. Ia berjuang secara keras untuk meraih dan mempertahankannya. Ketidaksempurnaan dalam prestasi belajar adalah musuh besarnya. Si anak memandang dirinya begitu berarti karena ia pintar, dan mendapat julukan atau label “anak cemerlang” atau “anak jenius”. Perlakuan orang lain yang dirasakan begitu “special” ini tentunya dapat menimbulkan rasa iri atau cemburu dalam diri anak-anak lain yang kurang cemerlang, baik di rumah atau di sekolah. Sebab, pada umunya sekolah, anak yang kurang cemerlang secara akademis dipandang oleh gurunya sebagai pemalas, kurang berusaha dan memiliki “masa depan suram”.                       
1.4. Menuju Konsep Diri Positif
            1.4.1. Mendengarkan Firman Tuhan[22]
            Alkitab menyingkapkan kebenaran mengenai rencana Allah bagi manusia. Didalamnya kita dapat penjelasan tentang seharusnya kita berpikir, bersikap dan berperangai terhadap diri sendiri dan sesame. Hanya Tuhanlah yang dapat menolong kita untuk dapat mengenal, menerima, dan menghargai diri sendiri secara bai dan benar.
            1.4.2. Saya Unik di Hadapan Tuhan[23]
            Menurut Firman Tuhan, setiap orang yang didunia ini unik. Allah mempunyai rencana yang khusus bagi kehidupan setiap individu band. Mzm. 139:13, atas dasar itu kita harus memandang diri sebagai pribadi unik.
            1.4.3. Orang Berdosa Yang Allah Kasihi[24]
            Pemahaman seperti itu membuat kita menyadari dan mengerti bahwa sesame kitapun adalah orang-orang yang berdosa. Apalagi terhadap mereka yang masih belum mempercayai Yesus Kristus sebagai Tuhan, kita perlu sekali menjadi saksi yang hidup. Kabar baik patut kita sampaikan kepada mereka supaya termotisivasi mencari dan membuka diri kepada Dia sehingga akhirnya memperoleh pengampunan dosa. Meskipun mereka telah beriman dalan Kristus mereka tetap sama seperti diri kita dalam proses perubahan. Sebagaimana dikemukakan diatas siapa yang telah berada dalam Yesus ia adalah ciptaan baru (2 Kor. 5:7).
            1.4.4. Saya Berharga Dimata Tuhan[25]
            Saya berharaga dimata Tuhan karena telah dibenarkan oleh darah Yesus Kristus sekalipun dalam keadaan miskin secara material. Saya berharga karena dosa dan pelanggaran saya telah dihapuskan serta suara hati saya dibersihkan oleh darah Yesus, supaya selanjutnya layak dipermuliakan. Saya berharga karena setelah mengaku Yesus Kristus sebagai juru selamat pribadi, saya berkedudukan istimewa sebagai “anak Allah”. Saya berharga karena Allah berkenan memanggil saya dan teman seiman saya yang lainnya menjadi pelayan-Nya.
          1.4.5. Saya Sedang Bertumbuh[26]
Seorang yang bertumbuh dewasa juga mandiri dalam sikap dan pemikirannya, tetapi tetap sadar betapa perlunya terikat dan bekerja sama dengan orang lain tampa takut kehilangan relasi yang baik. Ia belajar hidup secara kreatif, kaya dengan inisiatif, dan imajinasi. Ia memerdekakan dirinya dalam Kristus tidak mau dibelenggu oleh perasaan takut bersalah karena mencoba hal-hal yang baru.
1.4.6. Saya Tidak Dapat Hidup Sendirian[27]
Firman Tuhan berkata bahwa tidak baik   bila manusia seorang diri. Karena itu Dia menciptakan penolong yang sepadan bagi adam. Itu berarti selain membawa aspek individual, manusia berdimensi sosial. Kita perlu menyadari rencana ilahi ini sehingga tidak mungkin lepas dari relasi atau interaksi dengan orang lain. Bahkan kita senantiasa membutuhkan pribadi lain bagi pembentukan diri seutuhnya, mencakup aspek pikiran (nalar), emosi, kehendak, rohani, sosial, dan cultural. Kita adalah pribadi yang memiliki kebergantungan kepada orang lain, baik dekat maupun jauh,baik dalam ruang, lokasi, maupun waktu.
1.4.7. Saya Dipimpin  Roh Tuhan[28]
 Mengenai hadirnya roh Allah dalam kehidupan orang percaya tentu tidak rasional secara duniawi. Yesus sendiri mengatakan bahwa dunia memang tidak mengenal roh kudus itu, tetapi Dia akan mendiami orang percaya. Dunia, termasuk dunia pengetahuan modern, tidak mampu menerima kalau penerimaan dan penghargaan diri orang akan berubah dan bertambah sehat apabila roh Allah hadir dan bekerja dalam kehidupan mereka. Ilmu pengetahuan modern mengusulkan bahwa supaya konsep diri orang bertambah baik ia harus mengubah pola pikirnya lebih dahulu dengan menambah wawasan, meningkatkan kemampuan logika dan mengikuti latihan-latihan mental dan emosional.
1.4.8. Belajar Dari Pribadi Yesus Kristus[29]
Menurut kitab injil, Yesus Kristus adalah manusia sejati yang dikandung perawan maria. Dia dilahirkan, dipelihara, dan dibesarkan oleh keluarga Yusuf. Dikatakan dalam injil Lukas, bahwa Yesus mengalami pertumbuhan dalam segi fisik, sosial, dan spiritual. Dia juga bertumbuh dalam interaksi dengan orang-orang disekitarnya. Kemudian disukai orang-orang yang melihatNya. Sebagai manusia sejati, Yesus mengalami manusia sama seperti yang kita alami, artinya Dia bermain ketika kecil, makan dan minum ketika lapar dan haus, istirahat dimalam hari ketika dewasa pernah bekerja sebagai tukang kayu, sebelum secara penuh melatih para rasul dan memberitakan injil kerajaan Allah.
Sebagai manusia, secara emosional Dia bersedih, merasa heran, berbelas kasihan, dan marah. Dia pernah  marah ketika menyaksikan Bait Suci Allah di Yerusalem digunakan sebaga tempat berjualan.
1.4.9. Maknanya Bagi Kita Dewasa Ini[30]
Kehidupan seburuk apapun pada masa lalu dapat menjadi bagus dan indah kembali bersama Yesus. Sifat dan watak yang bejat pada masa silam dapat diubah menjadi karakter mulia karena pekerjaan rohNya. Selalu ada harapan bagi pemulihan perangai dalam Yesus Kristus. Dalam persekutuan dengan dia kita dapat mengahrgai pemulihan konsep diri. Dia yang akan memampukan kita untuk menerima dan menghargai diri, sebab Dia sudah terlebih dahulu menerima dan menghargai kita apa adanya.

II. Perangai Ketertiban Hidup
Sikap disiplin sesorang sebenarnya merupakan hasil pembentukan masa lalu yang dimulai dalam keluarga asalnya. Banyak orang memahami disiplin sebagai perbuatan orang tua yang menghajar anaknya karena kesalahan yang telah diperbuat, atau untuk memberikan motivasi supaya menuruti aturan yang ditetapkan. Disiplin sebenarnya mengarah kepada kesediaan belajar agar kita memiliki hati murid, tepatnya hati yang selalu bersedia mengalami dan membawa perubahan (disciple). Alkitab memberikan keterangan mengenai pribadi-pribadi yang karena kedisplinannya berhasil menjadi alat efektif di tangan Tuhan misalnya, Daniel.[31]  Adapun hal-hal yang penting dalam membangunpribadi yang unggul, diantaranya:
Ø      Dimensi hidup yang berubah
Banyak dimensi kehidupan yang perlu terus kita perbaiki dan kembangkan. Semua Itu dapat diupayakan ketika seseorang itu mengingat akan besarnya Anugerah Allah yang memberikan waktu, keselamatan dan pembenaran demi memperoleh hidup yang kekal.[32]
Ø   Kedisplinan fisik
Kemampuan mengelola anggota tubuh dengan baik dan benar menurut Rasul Paulus juga menjadi “berita Injil” bagi sesama. Paulus menegaskan kepada orang percaya bahwa tubuh kita dimaksudkan Tuhan untuk menjadi budak hawa nafsu dan kecemaran seperti itu.orang yang menyadari tubuhnya sebagai tempat kediaman Allah serta sedang dipergunakan untuk melayani akan termotivasi membersihkan diri secara benar.[33]
Ø        Urusan Makan dan Minum
Gaya hidup yang tidak tertib selalu membuat orang mudah mengalami berbagai penyakit degenaratif seperti diabetes, asam urat, gagal ginjal, dan penyakit jantung koroner. Terkait dengan hal makan dan minum, kita harus berkomitmen untuk senantiasa mengucapkan syukur kepada Allah sumber segala berkat. Kita juga memohon supaya menikmati hidangan, Tuhan menyatakan rahmat-Nya bagi sesame yang berkekurangan.[34]
Ø        Aspek pemilikan
Tuhan menghendaki agar kita terus belajarmenjadi bendahara yang baik. Termotivasi oleh keangkuhan, semua orang dapat tergoda untuk emanipulasi orang lain agar menghormati, mengagumi bahkan bergantung kepada diri kita. Pada umumnya orang memahami bahwa hidup dengan mencukupkan diri dianggap identik dengan kemiskinan dan dalam menghadapi situasi itu, setiap orang harus menentukan sikap kreatif. Firman Tuhan selalu menyatakan bahwa jika seseorang giat member kepada yang membutuhkan maka dia akan mendapat upahnya.[35]
Ø        Dalam Berkomunikasi
Seseorang memahami aspek waktu dalam menyatakan perkataan yaitu ucapan yang tepat waktu dan konteksnya sangat indah. Jadi, sebelum berbicara ada baiknya kita berpikir dan membuat pertimbangan tentang efek dari perkataan. Menurut Yesus, ucapan kita sebagai murid-Nya harus dapat dipercaya. Artinya kita harus belajar atau membiasakan diri supaya jujur dalam perkataan. Sebab manusia itu sendirilah yang bertanggung jawab atas hal yang kita ucapkan dihadapan Allah.[36]
Ø        Menggunakan Waktu
Manusia diciptakan Allah dalam ruang dan waktu. Sebab itu manusia adalah makhluk yang terbatas dan berada dalam keterbatasan ruang dan waktu. Karena keterbatasan itu, Tuhan inginkan supaya setiap orang dapat menjadai bendahara waktu. Dengan kata lain, setiap orang harus dapat mengelola waktunya dengan baik. Sebagai orang Kristen juga harus senantiasa membangun kekuatan dalam kasih karunia Allah yang tersedia dalam Yesus kristus. Dalam ruang dan waktu yang Tuhan berikan, setiap orang harus belajar mencari dan memahami kehendak Tuhan mengenai beragam dimensi tugas dan panggilan hidup.[37]
Ø        Dalam cara berfikir
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk berakal budi, supaya mampu memahami pikiran dan kehendaknya dan sanggup membedakan yang baik dan buruk. Alkitab mengajarkan bahwa Allah ingin supaya kita menggunakan dan meningkatkan kemampuan nalar. Namun, walaupun begitu, sebaiknya pikiran kita tidak membuat sok pintar dalam segala hal atau merasa lebih dari siapapun.[38]
Ø        Mengelola emosi dengan benar
Aspek yang tidak kalh pentingnya untuk membuat seseorang disiplin adalah emosi. Sebaiknya harus diakui bahwa dalam kenyataan sehari-hari kita tidak memakai nalar berkaitan dengan pengendalian emosi. Sama seperti fikiran yang harus tunduk dibawah ketuhanan Kristus  dan diterangi oleh firman Allah, begitu juga dengan emosi cinta. [39]
Ø        Dalam kehidupan spiritual
Setiap orang memiliki roh dalam pribadinya, karena dengan adanya dimensi roh dalam diri kita menjadi bukti bahwa Allah yang menciptakan manusia dari debu tanah dan meniupkan napas hidup dalam dirinya sehingga menjadi makhluk hidup. Beberapa hal yang tidak dapat terpisahkan dengan keadaan rohani, yakni:
v     Kondisi pikiran,
v     Perasaan
v     Sikap
v     Perbuatan
v     Jasmani
Meskipun roh kita yang berkomunikasi dengan Tuhan tetapi kelima hal diatas selalu ikut terlibat. Ada banyak cara yang dapat tempuh agar spritualitas sesuai dengan ajaran firman Tuhan, diantaranya adalah:
ü  Melalui aktivitas doa, baik secara pribadi maupun bersama-sama saudara seiman.
ü  Melaui nyanyian dan pujian kepada Tuhan.
ü  Melalui pembacaan dan perenungan firman Tuhan.
ü  Dalam hal berpuasa
ü  Melalui percakapan dan diskusi, dialog, sharing dengan rekanrekan seiman.
ü  Melalui tindakan nyata, bertumbuh melalui perbuatan kasih kepada orang lain terutama kepada saudara seiman.[40]
Ø        Kiat-kiat untuk berubah
Ada sejumlah saran dibawah ini yang dapat dipertimbangkan dalam rangka meningkatkan diri di bidang kedisplinan:
§         Menginsafi kelemahan diri dalam masalah ketertiban hidup atau disiplin.
§         Mengemukakan diri tentang apa yang akan dirubah.
§         Berdoa kepada Tuhan memohon pertolongan-Nya dalam menjalani perubahan hidup kita.
§         Bertindaklah dan terus belajar dari waktu kewaktu.
Jika disiplin memang merupakan nilai hidup, orang tua dirumah harus bertindak sebagai teladan dalam ketertiban hidup, termasuk dalam perkataan, sikap , pengelolaan waktu, dan tubuh. Orang tua berperan sebagai model dan pengarah disiplin bagi anak-anaknya, orang tuas mengajari dan melatih agar anak berdisiplin dalam banyak aspek, antara lain:
1.      Buang air besar.
2.      Berbicara atau bertutur kata
3.      Menata ruangan agar tidak acak-acakan
4.      Kebersihan tubuh dan ruangan
5.      Istirahat
6.      Makan dan minum
7.      Belajar dan bermain secara seimbang
8.      Menonton televisi atau bermain game computer
9.      Menggunakan uang
10.  Bergaul dengan orang lain
11.  Ibadah, berdoa, belajar firman Tuhan.[41]

II. Karakter dalam Akhlak Pengendalian Diri
Ada banyak aspek yang mempengaruhi keberhasilan orang dalam meraih cita-cita dalam mewujudkan impiannya. Kepintaran atau kecerdasan intelektual adalah salah satu diantaranya. Namun cerdas saja tidak mencukupi. Adanya modal keuangan yang memadai juga ikut menentukan. Kemampuan berkomunikasi dan berelasi dengan baik, serta kesehatan fisik sering turut pula menentukan kesuksesan hidup seseorang. Namun salah satu sapek yang tidak kalah pentingnya dalam menghadapi berbagai masalah hidup adalah pengendalian diri.[42]
Permasalahan kita
Negara dan bangsa ini terus menerus dalam keadaan terpuruk karena para pejabat banyak yang tadinya mengaku berkemampuan, jujur, adil, dan berkomitmen, tidak mampu mengendalikan diri. Mereka yang giat dalam pelayanan gerejawi juga tidak sedikit yang lemah dalam pengendalian diri. Demikian juga dengan keakraban relasia antara pria dan wanita dengan kurangnya pemahaman akan nilai pengendalian diri.
            Penguasaan diri dan menjadi tenang atau waras dalam pikiran merupakan dua unsur yang diperlukan agar kita dapat menyatakan isi hati dan permohonan kepada Tuhanmelalui doa. Dengan hal ini, kita benar-benar menyadari hal yang kita sampaikan kepada-Nya. Kita juga perlu membangun pengendalian diri dengan pikiran jernih, pertimbangan yang matang, disamping dilandasi kemampuat yang kuat. Dimana ada kehendak, disitulah bertumbuh kemampuan. Rasul Paulus menyatakan komitmen untuk mengendalikan dirinya dalam segala hal demi pemberitaan Injil (1 Kor. 9:24-27).[43]
Contoh-contoh dalam Alkitab
Kitab Amsal menyatakan bahwa orang yang mengeuasai diri melebihi orang yang merebut kota. Tepatnya ditluiskan: “orang sabarmelebihi soorang pahlawan, orang yang menguasai diriny a melebih orang yang merebut kota” (Ams. 16:23). Contoh pertama, adlah tentang Adam dan Hawa di taman eden. Hawa tergoda oleh pengelihatannya. Kedua, kasus antara Kain yang membunuh adiknya, Habel yang pada saat itu. Ketiga, cerita tentang Musa yang turun dari gunung Sinai, ia memecahhkan dua loh batu yang berisi Taurat Tuhan. Musa kecewa terhadap kakaknya, Harun yang membiarkan umat itu membangun berhala berbentuk lembu nyata tidak memiliki dari emas. Keempat, kisah tentang Yusuf dirumah  Potifar. Kelima, kisah Daniel dan kawan-kawan di Babel idak bisa. Pada saat Daniel  dan kawan-kawan sadar bahwa makanan yang mereka makan itu sudah lebih dahulu dipersembahkan kepada paradewa Babel. Keenam, mengenai raja Daud yang lengah berzina dengan  Batsyeba, istri Uria. Dan yang terakhir adalah YudaS Iskariot, yang tidak mampu mangendalikan kekecewaannya, kemudian menjual yang baru kepada para iman Yahudi dengan harga tiga puluh keping perak saja.[44]
Harus belajar dari Tuhan Yesus
Kitab Injil mengajarkan kepada kita bahwa jika mau belajar mengenai pengendalian diri, kita harus datang kepada Yesus Kristus. “Marilah kepadaKu ... belajarlah kepadaKu sebab Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Mat. 11:28-30). Yesus tidak hanya pintar bicara! Dia mendemonstrasikan teladan hidup ketika diri-Nya ditolak di Nazaret.
            Ketenangan diri Yesus jugadilaporkan mengemukan ketika paramjrid begitu ketakutan karena badai di danau, tempat airnya hampir menenggelamkan perahu. Selanjutnya, Yesus memberi contoh cara mengendalikan diri dalam penggunaan waktu. Dengan cara bangun pagi-pagi sekali dan pergi ke tempat sepi untuk berkomunikasi dengan Bapa di Sorga (Mrk. 1:35). Juga Yesus mendesaakagar kita menguasai diri dalam perkataan, karena hal yang kita ucapkan harus kita pertanggungjawabkan dihadapan Allah (Mat. 12:37). Menjaga hati dengan segala kewaspadaan (Mrk. 7:20-23; bnd. Ams. 4:23). Menjaga lidah agar tidak mengucapkan kutuk terhadap sesama, dan mengucapkan hal-hal dusta.
            Penguasaan atau pengendalian diri Yesus tampak ketika Diamenghadapi pengadilan Pilatus dan Herodes (Yoh. 18:38). Lalu ketenanggan lainnya adalah ketika Yesus disalib, Dia berbicara kepada para murid dan ibunya,  Maria (Yoh. 18:25-27). Betapa mengagumkan pengendalian diriNya (Luk. 23:39-43).[45]
Apa yang harus kita lakukan?
Berikut adalah sejumlah prinsip yang penting yang dapat membantu:
1.      Terus memandang diri telah tersalib bersama Yesus dalam hal kedagingan. Pandang diri senantiasa telah menjadi satu dengan Yesus Kristus dalam penyalibanNya.
2.      Beri diri supaya selalu hidup oleh Roh Allah dan dipimpin oleh Nya. Kekuatan bahkan perangai untuk melakukannya datang dari pertolongan Roh Allah!
3.      Meminta kepada Tuhan agar dikaruniakan sifat penguasaan atas pengendalian diri dengan pengucapan syukur (band. Flp. 4:6, 13)
4.      Nyatakan bahwa Allah bukan memberikan roh kelemahan melainkan kekuatan, kasih, dan pengendalian diri (2 Tim. 1:7)
5.      Serahkan seluruh anggota tubuh,pikiran, emosi, dan suara hati kepada Tuhan sebagai persembahan yang kudus kepada Dia.
Akhirnya, bangun persahabatan dengan sekelompok teman seiman untuk menumbuhkan iman dan karakter secara bersama-sama. Kita harus menanamkan kesadaran dalam pikiran, Tuhan memakai orang lain, juga keadaan yang baik dan tidak baik untuk membentuk dan membangun karakter serta moral kita.[46]

IV. Tangapan
Kesegambaran Allah dalam pribadi manusia menunjukkan secara spiritual bahwa manusia dibentuk untuk sebuah kehidupan yang lebih sempurna dibandingkan dengan kehidupan badaniah yang fana untuk menjadi karakter yang unggul sama dengan yang diperintahkan Allah. Oleh karena itu Luther memahami manusia sebagai gambar Allah bukan hanya mengenal dan percaya kepada Allah saja, melainkan manusia juga hidup di dalam suatu kehidupan yang sama sekali ilahi.[47] Karakter Manusia dianugerahi secara alami dengan kebaikan sejati yang merupakan mahkota kemenangan dari Imago Dei, dan secara konsekuen hidup dalam kekudusan yang positif.  Manusia sebagai Imago Dei diciptakan abadi yang pada hakikatnya tidak hanya untuk jiwa manusia itu sendiri, melainkan kelanjutan ekistensi manusia sebagai penyandang Imago Dei tersebut. Dalam kepemilikan Imago Dei, manusia dapat dikatakan sama seperti malaikat yang hanya memiliki perbedaan yang sangat sedikit.[48]
 Seperti yang kita ketahui bahwa moral adalah sikap dan perbuatan kita yang kita lakukan sesuai dengan norma atau hukum batiniah kita yang kita yakini sebagai kewajiban kita. Dalam hal ini moral tidak dilakukan atas tekanan atau perintah dari hukum yang berlaku, namun atas kesadaran bahwa hal tersebut adalah baik dan wajib untuk dilakukan. Dalam hal ini moral akan diberlakukan sesuai dengan kesungguhan dan kewajiban dalam diri sendiri. Oleh karena moral bergerak dari kewajiban, maka kewajiban itu juga dapat berasal dari luar diri, misalnya dalam usaha mencapai tujuan tertentu dalam sebuah kelompok sosial, atau dilakukan karena perasaan takut terhadap pemberi kewajiban itu. Namun moral juga memiliki dimensi kesadaran diri sendiri, yaitu kesadaran bahwa apa yang akan dilakukan itu dipandang baik. Namun, manusia adalah makhluk yang memiliki nafsu, kecenderungan emosional, selera dan cinta diri. Dalam hal ini ada kemungkinan terjadi tindakan sewenang-wenang. Oleh karena itulah manusia memerlukan prinsip yang mengatur agar terlepas dari dorongan di atas[49].
Krisis moral dapat terjadi ketika kontrol diri tidak dapat lagi diatasi oleh seorang pemimpin. Thomas Hobbes berpikir bahwa ada egoisme psikologis, yaitu keinginan manusia untuk memenuhi hasrat dalam dirinya untuk mendapatkan keuntungan atau kepuasan psikologis, sehingga mendorong manusia untuk memuaskannya[50]. Selain itu, egoisme etis juga sangat berpengaruh yaitu ketika kita diperhadapkan dengan suatu pilihan antara kepentingan kita dan kepentingan orang lain di luar kita. Moralitas berusaha menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan etis dan kebutuhan di luar. Egoisme etis mengajarkan bahwa manusia, dalam mengejar kepentingan diri, selalu melakukan apa yang ia inginkan dan memberikan kesenangan paling banyak dalam jangka pendek[51].
Dalam penjelasan di atas kita dapat melihat bahwa ada kecenderungan manusia, dalam pemenuhan kebutuhan diri sendiri. Hal ini sesuai dengan keberadaan moral bahwa kewajiban untuk melaksanakannya terletak pada kesadaran bahwa hal itu adalah baik. Pengambilan keputusan akan terbentur pada pilihan-pilihan yang ada di depan mata. Krisis moral akan terjadi begitu manusia mulai didominasi dengan dorongan-dorongan egosentris sehingga diri sendiri adalah prioritas dan yang lain adalah pelengkap untuk mencapai pemenuhan kebutuhan tersebut.Oleh karena itu, dalam pelaksanaan moral diperlukan sebuah dorongan dari luar berupa nilai-nilai yang disepakati secara umum oleh masyarakat tertentu yang meletakkan posisi kepentingan pribadi dan kepentingan sosial secara berimbang. Moralitas membantu pribadi  untuk selalu memperbaiki segala sesuatunya sesuai dengan pertanggung jawaban, baik terhadap diri sendiri maupun yang berada di luar dirinya. Moralitas yang tinggi dari seorang pribadi dapat dilihat dari sikap nya, apakah pribadi hadir sebagai teladan yang mendapatkan pujian atau tidak. Terlebih lagi dalam sikap pribadi ketika menghadapi permasalahan[52]. Pribadi yang bermoralitas tinggi menyadari bahwa ia telah dipanggil oleh Allah. Selain itu membentuk karakter yang unggul harus dilihat latarbelakang spritualitas nya sebab Kehidupan spiritual tidaklah bertentangan dengan kehidupan kodrati manusia, tetapi tumbuh dan menjadi dewasa dalam keserasian dalm kehidupan kodrati. Melalui kehidupan spiritual manusia memasuki pengetahuan dan cinta yang melebihi kodrat. Di sini dia berpikir dan bertindak tidak atas budaya dan nalar melainkan atas dasar iman[53]. Selain itu Dalam upaya memperoleh sosok pribadi yang unggul , proses pertumbuhan dan perkembangan kepribadian mutlak harus dipengaruhi. Lingkungan hidup anak yang utama dan paling ideal adalah lungkungan orang tua, lingkungan keluarga yang menjadi sumber yang melakukan tindakan terhadap anak yang sedang tumbuh dan berkembang[54].







V. Kesimpulan
   Watak sangat erat hubungan nya nilai dan norma yang mengatur  kehidupan manusia.
   Watak dan tata nilai tidak lepas dari Iman
   Faktor Yang Mempengaruhi Pembentukan Dan Pengembangan Watak  adalah lingkungan
   kehidupan waktu dan faktor Kedagingan
   Membentuk karakter yang unggul harus berpedoman pada pendekatan diri kepada Firman Allah
   Firman Allah mempengaruhi spritualitas  karakter manusia



[1] Sebagai bandingan saja, menurut ensiklopedi pendidikan, watak adalah “Struktur Rohani yang tampak pada kelakuan, perbuatan, dan terbentuk karena pembawaan.”
[2] B. S. Sidjabat, Membangun Pribadi Unggul, Yogyakarta: Penerbit ANDI, 2011, hal. 4
[3] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hlm. 7
[4] Bishop N.T. Wright melalui karyanya After You Believe: Why Christian Character Matters (Harper One, 2010) membicarakan perkara yang sangat penting yaitu orang Kristen mengalami pembaharuan hidup karena anugerah Allah didalam dan melalui Yesus Kristus, agar selanjutnya mengalami transformasi karakter sesuai dengan ajaran dan teladan Yesus Kristus.
[5] David W. Gill, Becoming Good: Building Moral Character (Downers Grove, I1.: IVP, 2000), hlm. 35-42.
[6] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 31
[7] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 32
[8] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 43
[9] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 45-47
[10] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 48-50
[11] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 51-52
[12] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 53-55
[13] Karena alam semesta dan manusia adalah ciptaan Allah, kedaulatan Allah berlaku di dalamnya. Walaupun manusia sudah jatuh dalam dosa dan dosa memengaruhi seluruh aspek kehidupan manusia dan alam ini, Allah tetap memeliharanya. Bahkan Allah hadir melalui kedatangan Yesus Kristus dan oleh Roh Kudus yang bekerja sampai saat ini (band. Yoh. 16:6-13). Mengenai kedaulatan Allah dalam berbagai kesulitan kehidupan ini lihat uraian James Dobson, dalam Kala Tuhan tidak dipahami (terj.). (Jakarta: Penerbit  ABDI TANDUR, 1993); dan Disaat Kehidupan menjadi sulit.(terj.)(Jakarta: Binarupa Aksara, 1996).  
[14] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 58
[15] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 69-73
[16] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 86-87
[17] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 89
[18] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 91
[19] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 92
[20] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 94
[21] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 96
[22] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 102
[23] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 103
[24] B. S. Sidjabat, Ibid.
[25] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 105
[26] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 109
[27] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 111
[28] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 114
[29] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 120
[30] B. S. Sidjabat, Op. Cit, hal. 140
[31] Hlm. 145-147
[32] Hlm. 148.
[33] Hlm. 149-150
[34] Hlm. 151152
[35] 154-155.
[36] 156.
[37] 158-160.
[38] 162-163.
[39] 164-168
[40] 170-174.
[41] 175-179
[42] Hlm. 241-243
[43] Hlm. 243-247
[44] Hlm. 247-252
[45] Hlm. 252-256
[46] Hlm. 256-259
[47] Lih  Jeroslav Pelikan (ed), Luther’s Works Vol. I Lectures on Genesis 1-5 (Saint Louis-Missouri: Concordia  Publishing House, 1958) hlm. 62-63
[48]  Lih Reinhold Neibuhr, The Nature and Destiny–A Christian Interpretation Vol I (NewYork: Charles Scribner’s Sons, 1964) halm. 207
[49] Lih. Lili Tjahjadi, Hukum Moral, (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 1991), hlm. 47-49
[50] Lih. James Rachels, Filsafat Moral, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 126
[51] Lih. Ibid, hlm. 146-147
[52] Lih. Kartini Kartono, Pribadi dan Kepribadian, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1994), hlm. 85
[53] Lih. ------, Ensiklopedia Nasional Indonesia,  Adi Pustaka, Jakarta: 1994, hlm. 219
[54] Lih Singgih D. Gunarsa, Dari Anak Sampai Usia Lanjut, BPK-GM, Jakarta: 2004, hlm 388

Tidak ada komentar:

Posting Komentar