YESUS DAN WONG CILIK
I.
Isi Ringkasan Buku
Makna Kerajaan Allah
Kerajaan
(basilea) dalam Injil merupakan suatu proklamasi untuk menggugat dominasi,
eksploitasi, dan hegemoni “kekaisaran Romawi”, dan Kerajaan Allah tidak sama
dengan kerajaan Daud. Kedatangan Kerajaan Allah tertuju kepada orang-orang
miskin, hal ini dapat kita lihat tujuan dari Tahun Yobel yang menciptakan
manusia baru dan bumi baru dimana penderitaan dan kelaparan umat (ocloj).
Ungkapan kedatangan Kerajaan Allah adalah ungkapan untuk menunjukkan kekuasaan
Allah,[1]
Yesus sering menyebutnya sebagai kedatangan Basilea. Ciri-ciri dari Basilea
yang diberikan Yesus:
-
orang
kaya sulit masuk Basilea
-
yang
melayani lebih besar dari yang dilayani
-
Basilea
berkembang dari kecil menjadi besar (seperti biji sesawi)
-
Basilea
adalah tempat berteduh bagi yang membutuhkan
-
Menyangkal
diri adalah syarat untuk masuk dalam Basilea
-
Seekor
unta lebih mudah masuk dalam Kerajaan Allah daripada manusia
-
Basilea
ada diantara manusia.[2]
Basilea
bukanlah tempatnya untuk menerima jaminan jasmani dan keselamtan jiwa sesudah
kematian, dan Basilea tidak pernah dihubungkan dengan golongan penindas, namun
bukan berarti bahwa orang kaya ditolak dalam Basilea, Basilea terbuka bagi
orang kaya dan tokoh-tokoh agama yang mau menerima kelahiran baru. Kita harus
ketahui bahwa kemerdekaan/ nasionalisme tidak identik dengan Basilea, Basilea
berbeda dengan membangun kembali kerajaan Daud. Dalam Basilea tidak ada
penindasan, penjajahan, dan pemerasan, sehingga dalam rangka inilah diakonia
sebagai misi Allah untuk mewujudkan Basilea di bumi merupakan panggilan gereja
segala tempat dan waktu.[3]
1.2. Perhatian Pada Yang Tersisih
1.2.1. Praktik Diakonia dalam Perjanjian Lama
Terdapat
beberapa praktik diakonia seperti perhatian pada orang miskin (janda,
yatim-piatu dan orang asing) yang terdapat dalam hukum Taurat. Dalam hukum Musa
ada beberapa undang-undang yang memberikan perhatian pada orang miskin dan
keadilan social, seperti konsep:
-
“tahun
Yobel”, tidak hanya menekankan penghapusan hutan (50 tahun sekali) tetapi juga
pelestarian lingkungan hidup
-
“tahun
Sabat”, tujuannya menolong orang miskin, tanah, dan binatang dari perlakuan
yang tidak adil oleh kebijaksanaan waktu itu yang dilakukan setiap tujuh tahun
sekali
-
“perpuluhan”,
yang menekankan bahwa Tanah Kanaan atau Israel beserta isinya adalah milik
Allah, Israel hanya sekadar juru kunci (bukan pemilik). Selain itu perpuluhan
bukanlah hanya untuk Israel saja, tetapi juga untuk menghidupi orang lain,
seperti orang Lewi, yatim-piatu, janda miskin, dan orang asing. Selain itu
perpuluhan dibaliknya mempunyai suatu larangan bagi orang Israel untuk tidak
berlaku kejam pada orang asing yang tinggal di negeri mereka, mengingat bahwa
Israel dulunya adalah pengembara, bangsa yang dianiaya di Mesir, dan pengembara
yang tak bertanah dan menjadi buruh
-
“larangan
mengambil bunga dari yang miskin”, orang miskin perlu diberi kesempatan untuk
memperbaiki nasib mereka dengan membebaskan mereka dari bunga pinjaman bahkan
ketika mereka kena musibah.
-
“peraturan
panen”, umat Israel diwajibkan menyisihkan hasil panen di ladangnya agar orang
miskin dapat mengumpulkannya.
-
“perlakuan
terhadap pekerja”, orang Israel dilarang menahan upah seorang pekerja karena
akan menyebabkan penderitaan bagi mereka
-
“pembatasan
kekayaan raja”, seorang raja dilarang serakah dalam masalah uang, seorang raja
tidak boleh hanya mengumpulkan kekayaanya, namun harus memperhatikan rakyatnya.[4]
1.2.2. Praktik Diankonia dalam Perjanjian Baru
Yesus
telah memerintahkan kepada murid-muridnya agar memberikan perhatian kepada
orang-orang miskin. Injil adalah kabar baik bagi dan sukacita bagi semua orang,
namun focus Allah adalah memberitakan kabar baik bagi orang miskin (anawim).
Orang yang memberikan perhatian dan pelayanan kepada orang miskin berarti
seseorang itu juga telah memberikan perhatiannya dan pelayanannya kepada Yesus.
Pelayanan itu tidak hanya diberikan kepada kalangan sendiri tetapi juga untuk
semua orang walaupun orang yang tidak berasal dari kalangan sendiri, bahkan
bagi orang yang membenci kita.[5]
1.3. Bentuk Diakonia
1.3.1. Diakonia Karitatif
Diakonia
karitatif adalah model diakonia yang paling tua dari gereja dan pekerja sosial,
diakonia ini diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang
miskin, menghibur orang sakit, perbuatan amal kebajikan. Diakonia ini
menggambarkan hubungan antara pemberi/ penyalur bantuan dengan pihak penerima
bantuan. Panggilan Kristen adalah penyangkalan diri sendiri dan mengangkat
salib, tidak sekadar mendapatkan roti dan bantuan material, hal ini adalah
manifestasi untuk mewujudkan Basilea, untuk mewujudkan manusia dan dunia baru,
dunia baru dimana tidak ada lagi tangis, kemiskinan, dan penindasan. Diakonia
karitatif digambarkan dengan memberikan ikan dan roti tanpa memberdayakan
mereka.[6]
1.3.2. Diakonia Reformatif/ Pembangunan
1.
Pembangunan
sebuah tinjaun teologis
Melalui
pembangunan kemiskinan dan kelaparan di dunia dapat diatas melalui pertumbuhan
ekonomi, ideology ini muncul di tengah perang dingin, ketika terjadi persaingan
antara kapitalisme dan komunisme. Pembangunan selalu menunjukkan kegagalan
manusia dalam melaksanakan pembangunan yang cenderung melawan Allah atas ciptaan-Nya. Pembangunan ini bisa
membuat manusia jatuh kepada penyembahan kepada Mamon dan Molokh.[7]
2.
Kerajaan
Allah di tengah Pembangunan
Pembangunan
infrastruktur teknologi dan ekonomi tanpa disertai pemberdayaan rakyat kecil
bukanlah jawaban terhadap peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat bila
tidak disertai pemerataan hasil pembangunan dan partisipasi rakyat, oleh karena
itu pembangunan itu harus disertai penegakan keadilan sosial. Namun gereja
sendiri masih memiliki bentuk eksploitasi dan kebencian terhadap sesame berupa
sekat-sekat perbedaan suku dan sosial. Pembangunan yang benar adalah bila
berjalan menurut perspektif Kerajaan Allah yang mewujudkan keadilan dan
perdamaian.[8]
3.
Diakonia
Reformatif di tengah dekade pembangunan
Bentuk
ini muncul pada waktu Sidang Raya Dewan Gereja se-Dunia IV di Upsalla Swedia
tahun 1967 dengan membentuk komisi yang
disebut Commision on Church’s
Participation in Development (CCPD), dengan mendesak agar Negara-negara
kaya di Utara memberikan bantuan ekonomi dan teknologi bagi Negara-negara
miskin di Selatan, dan dilanjutkan pada Sidang Raya DGI/ PGI VII di
Pematangsiantar tahun 1971 dan membentuk Darma
Cipta/ Development Center. Diakonia ini tidak mampu menyelesaikan
kemiskinan rakyat, ia hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi, bantuan modal,
dan teknik, namun tidak melihat sumber
kemiskinan itu.[9]
1.3.3. Diakonia Transformatif
Diatas
telah dijelaskan bahwa diakonia karikatif adalah pelayanan memberikan ikan
kepada orang yang lapar, dan diakonia
reformatif adalah pelayanan memberikan pancing dan mengajar seseorang
memancing, dan diakonia transformatif adalah pelayanan mencelikkan mata yang
buta dan memampukan kaki seseorang untuk kuat berjalan sendiri, diakonia ini
membebaskan rakyat kecil dari ketidakadilan yang mengepung mereka. Diakonia
transformatif sering berjalan dengan diakonia karikatif dan pembangunan.[10]
1.4. Diakonia dengan Kecaman Sosial
Setiap
praktik diakonia selalu mengahadapi persoalan-persoalan yang muncul
lingkungannya dimana ia hadir, seperti Stefanus yang mati bukan karena
memberikan bantuan kepada janda-janda yang bukan Yahudi, namun ia mati karena
kecamannya atas dosa sosial yang dilakukan oleh orang Yahudi. Mereka menuduh
Stefanus melakukan pelanggaran terhadap tempat kudus (Bait Allah) dan hukum
Taurat, mengajarkan ajaran yang bertentangan dengan agama Yahudi karena
memberitakan kebangkitan Yesus yang disalib. Kecaman sosial ini memudar ketika
negara memberikan bantuan kepada gereja di Eropa dan ketika Kristen diakui
sebagai agama negara dan berkurangnya pengaruh agama Romawi kuno, terlebih lagi
karena keuangan negara mempengaruhi kehidupan gereja[11]
1.4.1. Panggilan Semua Orang Melawan Dosa
Baik
orang miskin dan orang kaya dipanggil untuk menerima Kerajaan Allah, bagi orang
kaya adalah dengan menjual seluruh harta miliknya dan membagi-bagikannya kepada
orang miskin, perintah ini dilakukan oleh jemaat pertama dalam Kisah Para
Rasul. Dosa asal yang berasal dari pelanggaran Adam hanya dapat ditebus melalui
anugerah Allah lewat jalan salib. Panggilan untuk menerima Kerajaan Allah tidak
hanya mempraktikkan upacara ritual suatu agama namun melakukan tindakan
solidaritas dan mengikuti jalan salib, dengan kata lain untuk melawan dosa
haruslah menyangkal diri sendiri dan bersedia mengangkat salib.[12]
1.5. Kritik Terhadap Praktik Pembangunan
Pemerintah
menyebutnya dengan “pembangunan masyarakat”, namun organisasi sosial
menyebutnya dengan “pengembangan masyarakat”. Banyak para sosiolog, teolog
mengkritik pembangunan sebagai modernisai yang berorientasi pada
pertumbuhan ekonomi, dan memang
pembangunan ini telah mendatangkan kemajuan fisik, seperti pembangunan jalan,
waduk, gedung, dan penebangan hutan, dan dampaknya ialah perusakan lingkungan
hidup, pemerasan tenaga buruh, perampasan tanah petani kecil, dan rakyat
kecil harus menanggung beban
pembangunan, dan pada akhirnya merekalah yang sedikit menikmati hasil
pembangunan itu. Berbeda dengan “pembangunan sebagai perkembangan” yang
melakukan pembebasan menuju kemanusiaan yang adil dan beradab.[13]
1.5.1. Perlunya Partisipasi Rakyat
Ada
beberapa manfaat partisipasi rakyat sebagai pembagian kekuasaan dan empowering
the people:
-
proyek
dapat diterima oleh rakyat
-
rakyat
melalui sumbangan tenaga dan materialnya akan merasakan manfaat langsung dari
proyek
-
rakyat
terbuka terhadap perubahan dan terlatih dalam mengelola proyek
-
rakyat
akan turut memelihara dan mengamankan proyek karena ikut memiliki
-
pengawasan
proyek akan lebih efisien dan efektif
Partisipasi
rakyat harus dimulai dari:
-
perencanaan
-
pelaksanaan,
dan
-
pengawasan.[14]
Pemerintah
dan organisasi sepakat dalam partisipasi rakyat dalam pembangunan, namun
prioritas dan strategi berbeda. Pemerintah menekankan pertumbuhan ekonomi dan
perencanaan dari atas, sedangkan organisasi rakyat (LSM) pembebasan dan pembangunan
melalui perencanaan dari bawah.
1.6. Berteologi bersama rakyat
Pemahaman
teologi tidak hanya berpusat di altar, namun teologi harus memiliki benang
merah dengan pergumulan rakyat yang menderita karena ketidakadilan, dan khotbah
itu tidak hanya di dalam gedung, tetapi
juga di pasar. Ciri-ciri wajah teologi saat ini:
- teologi
saat ini adalah warisan teolog abad 19 (teologi colonial), menekankan
keselamatan rohani dan individu. Pekabaran Injil dilihat sebagai panggilan
untuk dibaptis dan mendapatkan keselamatan, tidak dipandang sebagai kabar baik.
-
teologi
saat ini menekankan pernyataan daripada tindakan
-
isi
teologi tenggelam dalam dogma daripada refleksi yang kontekstual dan profetik
-
perspektifnya
lebih memihak pada golongan penguasa daripada kaum akar rumput
-
teologi
sebagai kebenaran universal yang mengabaikan konteksnya.[15]
1.6.1. Teologi Rumput
Teologi
tidak bisa lepas dari praksis rakyat, tanpa praksis iman, teologi bukanlah
teologi, Praksis iman adalah pengakuan kepercayaan yang muncul dari dalam
sejarah, seperti peristiwa keluaran menjadi landasan iman Israel, peristiwa
salib menjadi landasan pengikut Yesus. Teologi ini sangat cocok dalam diakonia
transformatif yang disebutkan diatas. Teologi ini dapat dikomunikasikan
melalui:
(1)
Alam semesta.
(2)
sejarah rakyat
(3)
budaya dan tradisi
(4)
media
(5)
teladan hidup
(6)
kelompok kecil maupun besar.[16]
Spiritualitas
seseorang tidak bisa dibuktikan dalam kehidupan di sekitar altar, namun juga di
lingkungan hidup.
1.7. Kemitraan Yang Membebaskan Dalam Pelayanan
1.7.1. Kemitraan Yang Sesungguhnya
Masalah
kemitraan adalah masalah yang sering diperdebatkan dalam pelayanan, terutama
dalam gerakan oikumene, yang sering diperdebatkan ialah masalah pembagian
sumber daya (terutama masalah bantuan uang), masalah ini sering berlangsung
dalam suasan pedih dan menyakitkan semua pihak.[17]
Untuk memecahkan masalah itu, Josef P.Widyatmadja mengajukan beberapa usulan,
yaitu:
-
perlunya
penyangkalan diri dari semua pihak, yaitu lebih mementingkan kepentingan
kemanusiaan dan keadilan sosial
-
saling
percaya dan menolong, badan donor harus menolong mitranya dalam melaksanakan
programnya, dan penerima harus menolong badan donor agar dapat
mempertanggungjawabkan dana yang sudah ada dari mitranya di utara
-
transformasi
sosial sebagai agenda utama kemitraan, agenda bersama donor dan penerima adalah
mewujudkan manusia dan dunia baru, yaitu mengatasi perbedaan dan ketidakadilan
yang ada
-
perlunya
paradigma dan tolak ukur yang sama
-
menyembuhkan
luka sejarah dan memperbarui dunia, dimana semua lembaga pelayanan memiliki
ketergantungan pada lembaga donor di Utara karena tata ekonomi dunia dan beban
sejarah, namun konsultasi ecumenical
resources sharing yang dibentuk untuk mengurangai hubungan itu, dan pada
akhirnya hubungan itu tidak dapat lepas dari lembaga pelayanan dan gereja di
Selatan, yang menjadi permasalahan adalah bagaimana agar bantuan itu tidak
menjadi laknat namun menjadi berkat bagi banyak orang.[18]
1.8. Panggilan Di Abad ke-21
Proses
dunia terbuka, baik dalam informasi, perdagangan, dan budaya adalah kenyataan
yang harus dihadapi terutama gereja. Dalam hal ini gereja perlu berkiprah dan
mempersiapkan umatnya agar dapar bertahan hidup di era-globalisasi, dengan cara
berteologi bersama rakyat. Dalam globalisasi ini kemiskinan masih akan
berlanjut dan oleh karena itu Injil Kerajaan Allah perlu diwujudkan di bumi
melalui diakonia transformatif. Begitu juga dalam masalah perusakan lingkungan,
gereja harus memberikan pendidikan dan penyadaran tentang pemanasan global,
perubahan iklim, pencemaran air dan udara, dan demikian juga masalah
pelestarian lingkungan, gereja melakukan penanaman pohon, penghematan air, dan
pengurangan pemakaian air minum kemasan plastik perlu ditanamkan sejak dini
dalam kehidupan warga gereja.[19]
Bebarapa usaha yang dapat dilakukan gereja di era globalisasi adalah:
-
mengajarkan
nilai kemanusiaan sebagai tujuan, orang miskin adalah subjek bukan objek
pembangunan
-
harus
menerima setiap kebudayaan dan peradaban yang perlu dihormati oleh kebudayaan
dan peradaban lain
-
tatanan
ekonomi dan sosial yang menghancurkan ciptaan Allah, dianggap sebagai global evil yang melawan Basilea.[20]
Diakonia
transformatif bermaksud menciptakan manusia dan dunia baru yang di dalamnya
semua budaya dan peradaban mendapatkan tempat dalam Kerajaan Allah, tidak boleh
ada budaya dan peradaban yang mendominasi budaya dan peradaban lain, apalagi
menghancurkan peradaban bangsa lain dengan kekuaran ekonomi, politik,
teknologi, dan militer.
1.8.1. Makna Diakonia Transformatif
Terdapat
beberapa makna diakonia menurut Josef. P. Widyatmadja, yaitu:
-
Diakonia
sebagai ibadah
-
Diakonia
sebagai upaya untuk melestarikan lingkungan hidup
-
Diakonia
sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian dan persaudaraan dengan sesama
manusia
-
Diakonia
sebagai upaya untuk menciptakan keadilan dan sosial dan perwujudan Kerajaan
Allah
-
Diakonia
sebagai upaya menciptakan kemanusiaan dan kesejahteraan bagi semua.[21]
1.8.2. Hal-Hal Yang Harus Dilakukan Oleh Gereja
Beberapa
hal yang harus dilakukan gereja dalam berdiakonia di abad-21, yaitu:
-
Dari
krisis ke kairos
Bagi orang beriman,
krisis adalah sebuah kairos/ kesempatan untuk mewujudkan iman yang
memberlakukan Kerajaan Allah, orang beriman tak boleh tenggelam dalam krisis,
namun perlu mengubah krisis menjadi kairos, peristiwa penyaliban Yesus adalah
krisis bagi anak manusia dan para murid, namun menjadi kairos untuk menunjukkan
ketaatan kepada Bapa
-
Kenosis
Kenosis/ pengosongan
diri merupakan inkarnasi Anak Allah menjadi manusia, Anak Manusia tak
memedulikan statusnya sebagai Anak Allah. Penyangkalan diri ini adalah syarat
untuk melakukan diakonia transformative
-
Berbalik
arah (metanoia)
Metanoia/ pertobatan
adalah berbalik pada Allah yang hidup. Gereja harus bertobat dan berbalik arah
pada Kerajaan Allah, pertobatan ini adalah pro-kehidupan dan melindungi orang
yang lemah yang terancam kematian. Pertobatan dalam abad ke-21 ini adalah
menanggalkan perwujudan iman kita yang bersifat dogmatis dan retorik dengan
dialog lintas budaya dan peradaban.
-
Agape
dan dikaiosune
Kedua ini tidak dapat dipisahkan,
kedua ini adalah inti ajaran Yesus, kasih kepada sesama manusia atau
kemanusiaan
-
Koinonia
sebagai solidaritas
Persekutuan adalah
gerakan dengan cara memperhatikan yang tersisih, saling berbagi, diakonia tanpa
koinonia adalah diakonia tanpa kasih, sebab koinonia adalah solidaritas.
Persekutuan yang memelihara roh keesaan dan ke-am-an mengungkapkan dirinya
dalam komitmen kerendahan hati, sikap saling menghormati, lapang dada,
kesabaran, dan cintah kasih. Dalam hal ini gereja terpanggil untuk saling
membangun (1 Tes 5:11) dan saling mengasihi sebagai saudara (Roma 12:10).[22]
-
empowering/
pemberdayaan
Diakonia transformative
bukan sekedar memberikan uang namun pemberdayaan orang lumpuh, mencelikkan mata
yang buta (penyadaran dan pemberian semangat).
-
Pastoralia
pada orang kaya
Tujuan pastoral kepada
orang yang berkuasa adalah agar mereka bertanggung jawab terhadap kuasa yang
dimilikinya dan digunakan untuk kesejahteraan sosial bagi semua orang.
-
Peranan
pendidikan teologi
Sekolah teologi selama
ini kurang memberikan pembekalan soal diakoni transformatif yang berpusat pada
rakyat. Kerjasama antar gereja dan LSM, dan pendidikan teologi perlu dilakukan
agar lulusan pendidikan teologi bisa menerapkan panggilannya di tengah rakyat.[23]
II. Tanggapan
2.1. Masalah diakonia
2.1.1. Diakonia Karikatif
Josef
Widyatmadja dalam bukunya “Yesus & Wong Cilik” menjelaskan diakonia hanya
berpatok kepada masalah materi saja, namun kelompok menganggap bahwa bukan
hanya dalam bentuk materi saja gereja dapat berdiakonia, banyak hal yang harus
dilakukan gereja dalam mewujudkan Basilea itu:
-
gereja
dapat menerapkan gerakan diakonianya dengan cara menghubungkan jemaat-jemaat
yang kurang mampu dengan jamaat-jemaat yang lebih mampu, seperti bunda Theresa
membawa sesuatu yang bermakna di kota Kalkutta terhadap anak-anak terlantar
dengan kunci spritualitas yang muncul dari penghayatan panggilannya. Theresa
mengajak orang-orang yang mampu untuk membantu anak-anak terlantar, orang
kusta, papa, miskin dan melarat.[24]
-
Gereja
juga tidak hanya bisa berperan dalam memberikan bantuan materi saja, gereja
juga bisa bekerja dengan pemberian motivasi bagi jemaat, menerapkan sebuah
teologi eskatologi, bahwa mereka akan bisa melalui masalah kemiskina dan akan
mencapai sebuah kebahagian. Inilah peran gereja dari sisi psikologi dan
spiritual masyrakat, agar niat untuk berjuang tumbuh kembali.[25]
2.1.2. Diakonia Reformatif
-
diakonia
reformatif kurang efektif untuk menyelesaikan masalah-masalah kemiskinan jemaat
sampai ke akar-akarnya, sehingga masalah-masalah kemiskinan akan tetap kembali datang, maka
kelompok kami menyatakan diakonia reformatif harus diawali dengan reformatif
penyadaran yang dilakukan pemimpin gereja, mengapa kemiskinan itu bisa terjadi,
kemudia memberikan motivasi bahwa ada rencana Allah dibalik semua kemiskinan
yang terjadi.[26]
-
Pemimpin
gereja juga harus aktif dalam memberikan solusi-solusi nyata yang bisa
dilakukan oleh masyarakat, seperti dengan pembinaan jemaat untuk mengolah
keuangan, pembinaan masyarakat dalam bertani, berdagang, beternak dan pekerjaan
alternaf lainnya. Semua hal itu bisa diawali dengan pendukungan spritualitas
masyarakat untuk tanggap terhadap masalah-masalah.[27]
-
Peran
gereja harus dapat dikontekstualisasikan dalam setiap keadaan umat manusia
dalam sekitar yang sedang dihadapi. Peran gereja akan menjadi daya tarik
tersendiri bagi masyarakat sekitar dan akan menjadi teladan jika memiliki peran
yang sangat aktif.
2.1.3. Diakonia Transformatif
-
gereja
harus lebih aktif lagi dalam menanggapi masalah-masalah masyarakat harus lebih
banyak berbuat dari pada bertanya. Gereja harus lebih tanggap melihat semua
keadaan, gereja diharapkan untuk langsung terjun ke lapangan, bukan menunggu.
Pemimpin gereja juga diharapkan untuk lebih cepat turun ke lapangan, mencari
kerja sama dengan lembaga-lembaga di luar gereja yang ikut serta menangani
masalah kemiskinan. Pelayanan gereja yang transformatif juga mendapat dukungan
dari warga jemaatnya sehingga program diakonia di suatu gereja dapat berjalan
dengan baik. Dengan begitu di dalam persekutuan pekerja-pekerja sosial dapat
menolong jemaat yang diakonal, sehingga ia dapat melakukan pekerjaannya sesuai
dari imanya.[28]
-
Gereja
seharusnya mampu menampung orang-orang miskin sebagai subjek di dalam membangun
kesejahteraan masyarakat dan ikut menerima hasil yang setara. Gereja merupakan
sarana perubahan bagi orang yang tidak mampu menjadi mampu dengan memberikan
pembinaan oleh pemimpin jemaat dalam bentuk apapun yang mendukung masyarakat
mendapatkan solusi yang tepat menyelasaikan masalah kesejahteraan masayarakat.
Menurut Barna, para pemimpin atau pelayan gereja yang sangat efekti menunjukkan
perubahan yang tidak putus-putus, dan pemimpin gereja menjadi lokomotif
perubahan.[29]
-
gereja
tidak dapat melepaskan perwujudan imannya yang bersifat dogmatis dalam berdiakonia
di abad-21, sebab hal ini mencirikan penganut suatu agama dengan penganut
agama-agama yang lain, jika hal ini dilepas maka ajaran- ajaran Kristen akan
diabaikan oleh penganutnya.
2.1.4. Diakonia Gereja dalam abad -21
Josef
Widyatmadja dalam hal-hal yang harus dilakukan gereja dalam abad-21 hanya
menjelaskan sedikit saja, dalam hal ini kelompok menambahkan beberapa hal
diantaranya:
-
gereja
tidak hanya berdiam diri saja, namun gereja harus, dan gereja harus
memperhatikan orang-orang miskin sehingga mereka dapat bersaing dalam ekonomi
pasar bebas. Gereja juga harus memberikan pembinaan baik juga pelatihan secara
menyeluruh bagi jemaat yang memiliki bakat tertentu untuk mengembangkan
bakatnya di dunia pasar bebas. Gereja harus menempatkan diri dalam untuk berperan dalam persiapan
masayarakat atau jemaat menghadapi pasar bebas.
-
gereja
tidak salah bila mengembangkan kewiraswastaan, dalam hal ini gereja mendukung
masyarakat yang beprofesi pedagang, apalagi pedagang-pedagang kecil.
Kewiraswastaan adalah sebuah alternative pekerjaan yang bisa dikembangkan oleh
masyarakat lewat sokongan gereja. Gereja harus memberikan cara berdagang yang
inovatif dan menarik, namun tidak meninggalkan dirinya sebagai gereja pada
hakekatnya.[30]
-
Kemajuan
teknologi harus disyukuri sebagai berkat Tuhan terhadap manusia, dengan
kemajuan teknologi ini gereja harus memakai kemajuan teknologi sebagai peluang
untuk mewujudkan keselamatan secara maksimal. Gereja juga dapat memberikan
pemahaman kepada jemaat bahwa pemuda Kristen harus mampu menggunakan teknologi
dan memaham penggunaan teknologi sebagai peningkatan hidup dan sebagai bagian
dari perwujudan iman.[31]
-
Masalah
utama dari abad ke-21 adalah kurangnya kepedulian sesama. Banyak orang-orang
yang lebih mampu dalam bidang ekonomi tapi tidak memilki rasa yang diakonal
kepada sesamanya yang kurang mampu. Maka gereja harus memeberikan pembiaan dan
menjadi teladan agar jemaatnya bisa saling menopang untuk mencapai
kesejahteraan bersama. Gerakan yang di dalam ruang lingkup gereja harus saling memperhatikan,
dlam segi ekonomi ada beberapa gereja yang masih minim ekonominya. Dalam hal
ini gereja perlu meliha kedepan dan disekitarnya agar jemaat yang masih dalam
keadaan yang masih minim dalam hal ekonomi dapat dibantu dengan baik dan
memperoleh kesejatraan hidup antar gereja dan lingkungan yang beragama. Banayk
jemaat juga yang kurang memperhatikan gereja karena factor ekonomi yang minim
sehingga ini dikaitkan dengan mereka yang tidak diberkati. Sebaiknya jemaat
berpikir positif dengan apa yang mereka kerjakan, agar berbuah dalam kehidupan
mereka, dengan demikian sejalanlah ekonomi dengan peranan gereja ditenga-tengah
lingkungan sosial.[32]
-
Pemimpin gereja sekarang yang kurang perhatian
terhadap pelayanan kepada anak-anak sekolah minggunya. Kepemimpinan dapat
digambarkan sebagai kumpulan tugas fungsiomal yang harus dilakukan. Salah satu
figure pemimpin dalam meliputi acuan
tugas seorang pemimpin adalah memberi bimbingan yang efektif dalam
komunitas di dalam gereja, sehingga dengan demikian dapat mewujudkan misi
gereja.[33]
Karena anak sekolah minggu merupakan masa depan gereja, jika pemimpin tidak
melakukan diakonianya kepada mereka akan ada dampak negatif.
-
Manusia
pada abad ke-21 ini seperti manusia-manusia yang kehilangan motivasinya, maka
sangat berpengaruh pada niat dalam pengembangan kesejahteraan. Maka oleh karena
itu gereja harus beperan aktif sebagai motivator dalam pengembangan manusia
kerja. Peran gereja mampu memberikan sebuah niat baru bagi jemaat untuk
menemukan inovasi baru untuk menemukan lapangan kerja baru buatan dirinya
sendiri untuk pengembangan perekonomian. Dengan peran gereja sebagai motivator
akan selalu menjadi renungan dalam setiap pekerjaan.[34]
-
Selain
itu juga dituntut sebuah peran gereja pada abad ke-21 ini dimana gereja harus
mampu mengizinkan dirinya menjadi sebuah gereja kaum miskin, gereja menjadi
lambangnya kaum miskin, yang tidak hanya menunjukkan kebenaran mereka dari luar namun juga dalam
dirinya sendiri. Dengan pembinaan bagi kaum-kaum miskin yang dilakukan gereja
abad 21 ini bisa membantu masyarakat untuk menangani masalah kemiskinan (Kaum
Wong Cilik). Peran gereja dalam pembinaan ini adalah sebuah cerminan teladan
Yesus yang datang untuk memberikan pembebasan bagi orang-orang tertindas.
Manusia yang sukses adalah manusia yang bermanfaat bagi sekitarnya, demikian
juga dengan gereja, gereja yang benar adalah gereja yang memiliki peran aktif
dalam pengembangan kehidupana masyarakat sekitarnya. Peran gereja harus dapat
dinikmati bagi masyarakat dan menjadi strategi misi penginjilan gereja lewat
teladan gereja.[35]
-
Gereja
juga harus memperhatikan kehidupan sosial ekonomi masyarakat real saat ini,
dimana dalam abad 21 ini banyak terdapat masalah buruh, masalah kerja yang
tidak mungkin diselesaikan oleh satu pihak saja, masalah buruh dan masalah
kerja harus diselesaikan dalam kerja sama menyeluruh antar-semua pihak yang
berkepentingan termasuk gereja. Gotong royong merupakan usaha yang baik dalam
membangun kerjasama antar gereja. Karena banyak didalam gereja itu yang masih
berlawanan dalam artian tidak satu hatinya, oleh karena itu perlunya ditekankan
dalam gereja saling memperhatikan yang berkerja didalam bodang apapun.[36]
-
Menurut
Gonsalves, bidang cukup gereja tidak boleh dicampuradukkan dengan politik.
Gereja pada abad 21 ini harus dibatasi kegiatan-kegiatannya pada urusan
teologi. Pada pihak lain, Soares berpendapat bahwa kegiatan gereja tidak dapat
dipersempit hanya ke urusan-urusan yang abstrak. Gereja justru harus
memperlihatkan keperhatiannya pada persoalan-persoalan sosial yang konkret,
semisal persoalan keadilan, hak asasi manusia. Seperti yang kita ketahui gereja
berasal dari organisasi yang minoritas ditengah-tengah dominasi agama Yahudi.[37]
Dapat ditekankan hubungan agama dan politik itu sangat jaug dan kalau boleh itu
tidak bersentuhan, sehingga gereja berpusat pada satu tujuan.
-
Gereja
perlu melakukan sebuah tindakan lansung bagi penanggulangan kemiskinan.
Beberapa gereja hanya focus didalam lingkungan derja sendiri. Seharusnya gerja
itu dapat membawa pengaruh dari gereja itu sendiri keluar, sehingga gereja
dapat menjalankankan fungsinya, seperti yang dikatakan oleh Martin Luter,
gereja harus dapat mempengaruhi dunia ini seperti batu yang dilemparkan
ketengah-tengah kolam, air yang berada dalam kolam tersebut bergelombang hingga
kepinggir kolam tersebut. Begitu jugalah seharusnya fungsi gereja yang kita
rasakan sehingga banyak orang yang kembali pada yang baik dan benar.
Orang-orang yang miskin pun dapat dibantu oleh gereja karena telah memberi
pengaruh yang baik. Focus utama harus beralih kepada orng-orang miskin. Gereja
harus menerapkan sebuah teologi praktika pleyanan bagi orang miskin sebagai
wujud gereja yang hidup dalam masyarakat.[38]
-
Dalam
perspektif kristiani, saya mengajak pembaca memandang kedepan melihat dan
menyadari sosok hamba Tuhan yang akan datang, yang kita butuhkan untuk
menghadapi abad ke 21, diantaranya: seorang hamba harus memiliki kualitas
spiritual yang tinggi, seorang hamba juga harus memiliki intelektualitas yang
mampu bersaing, memiliki katahanan dan kualitas moral yang terpuji, dan
memiliki ideology yang teruji.[39]
-
Tujuan
menyelesaikan masalah yang terjadi di masyarakat haruslah jelas, ada beberapa
langkah guna menyelesaikan konflik:
a.
Gereja melibatkan diri dan mebiarkan
semua pihak yang sedang bertikai tahu bahwa gereja telah melibatkan diri
b. gereja harus bersikap untuk memisahkan
orang-orang yang sedang konflik dengan cara adil
c. gereja
harus menjadi pendengar yang baik dari kedua pihak yang berkonflik untuk
mendapatkan solusi yang tepat
d.
gereja harus menjelaskan solusi yang
diperoleh kepada pihak yang berkonflik
e. gereja
dapt berkonsultasi kepada pihak lain jika dipandang perlu
f.
gereja harus memantau pelaksanaan dari
kesepakatan yang dicapai, jik ternyata perkembangannya tidak seperti yang
diharapakn, janganlah berdiam diri sebelum segala sesuatu menjadi parah
III. Kesimpulan dan Saran
3.1. Kesimpulan
-
Kedatangan
Kerajaan Allah tertuju kepada orang-orang miskin
-
Diakonia
karitatif adalah model diakonia yang paling tua dari gereja dan pekerja sosial,
diakonia ini diwujudkan dalam bentuk pemberian makanan, pakaian untuk orang
miskin, menghibur orang sakit, perbuatan amal kebajikan.
-
Pembangunan
yang benar adalah bila berjalan menurut perspektif Kerajaan Allah yang
mewujudkan keadilan dan perdamaian.
-
diakonia
transformatif adalah pelayanan mencelikkan mata yang buta dan memampukan kaki
seseorang untuk kuat berjalan sendiri, diakonia ini membebaskan rakyat kecil
dari ketidakadilan yang mengepung mereka. Diakonia transformatif sering
berjalan dengan diakonia karikatif dan pembangunan
-
Setiap
praktik diakonia selalu mengahadapi persoalan-persoalan yang muncul
lingkungannya dimana ia hadir.
-
Panggilan
untuk menerima Kerajaan Allah tidak hanya mempraktikkan upacara ritual suatu
agama namun melakukan tindakan solidaritas dan mengikuti jalan salib, dengan
kata lain untuk melawan dosa haruslah menyangkal diri sendiri dan bersedia
mengangkat salib.
-
perlunya
partisipasi rakyat dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan. Dengan ini
akan partisipasi masyarakat akan menjadi sebuah juru kunci keberhasilan
penanganan masalaha kemiskinan.
-
Pemahaman
teologi tidak hanya berpusat di altar, namun teologi harus memiliki benang
merah dengan pergumulan rakyat yang menderita karena ketidakadilan, dan khotbah
itu tidak hanya di dalam gedung, tetapi
juga di pasar
-
gereja
perlu berkiprah dan mempersiapkan umatnya agar dapar bertahan hidup di
era-globalisasi, dengan cara berteologi bersama rakyat.
-
dalam
masalah perusakan lingkungan, gereja harus memberikan pendidikan dan penyadaran
tentang pemanasan global, perubahan iklim, pencemaran air dan udara, dan
demikian juga masalah pelestarian lingkungan, gereja melakukan penanaman pohon,
penghematan air, dan pengurangan pemakaian air minum kemasan plastik perlu
ditanamkan sejak dini dalam kehidupan warga gereja.
-
Diakonia
transformatif bermaksud menciptakan manusia dan dunia baru yang di dalamnya
semua budaya dan peradaban mendapatkan tempat dalam Kerajaan Allah
-
Hal-hal
yang harus dilakukan gereja pada abad-21
§
Dari
krisis ke kairos
§
Kenosis
§
Berbalik
arah (metanoia)
§
Agape
dan dikaiosune
§
Koinonia
sebagai solidaritas
§
empowering/
pemberdayaan
§
Pastoralia
pada orang kaya
§
Peranan
pendidikan teologi
1.2
Saran
Setelah
membaca penjelasan diatas, kelompok menyarankan beberapa hal yang harus diperhatikan
dalam melakukan gereja yang berdiakonia:
-
materi
bukanlah hal yang utama dalam berdiakonia
-
gereja
harus memandang dirinya sebagai gembala yang memperhatikan domba-dombanya
(jemaat)
-
gereja
harus mampu bersaing dalam era-globalisasi
-
diakonia
tidak hanya bagi gereja sendiri namun bagi semua orang
-
gereja
tetap mepertahankan ajaran-ajarannya serta mengaplikasikannya dalam berdiakonia
dimana pun.
-
Gereja
harus mampu menjadi motivator dan innovator bagi pemikiran jemaat untuk
menemukan jalan keluar berbagai masalah dalam masyarakat.
[1]
Josef P.Widyatmadja, Yesus & Wong
Cilik, Praksis Diakonia Transformatif dan Teologi Rakyat di Indonesia,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010, hlm.11-12
[2]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 13
[3]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
15-18
[4]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
20-25
[5]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
25-27
[6]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
31,34,36
[7]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
36,38
[8]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
38-41
[9]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
41-43
[10]Josef
P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.. 43,48
[11]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
57,61
[12]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
68-70
[13]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
72-73
[14]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 75
[15]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm. 99
[16]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
100, 114-115
[17]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
164
[18]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
165-166
[19]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
179,183
[20]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
185-186
[21]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
191-194
[22]
Lutheran World Federation, Bermisi di
Dalam Konteks: Transformasi Rekonsiliasi Pemberdayaan, Suatu Sumbangan Lutheran
World Federation Untuk Memahami dan Melaksanakan Misi, Pearaja Tarutung:
Kantor Pusar Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), 2008, hlm. 37-38
[23]
Josef P.Widyatmadja, Op.Cit; hlm.
194-200
[24]
Nekson M. Simanjuntak, “Meningkatkan
Kebersamaan dsan Memberdayakan Warga Jemaat di Era Globalisasi” dalam WTP.
Simarmata, Pelayan yang Memperlengkapi Jemaat, Buku Pengucapan Syukur 25 Tahun
Pelayanan, Medan: PGI Wilayah Sumatera Utara, 2009, hlm.153-154
[25]
Andreas A. Yewangoe, Theologi Crucis dan Gereja-gereja Asia, dalam Thomson MP
Sinaga, Mewujudkan Komunitas Damai untukSemua, PGI Wilayah Sumut,
Medan,2007, hlm71-78
[26]
J.L.Ch. Abineno, Diaken, Diakonia dan
Diakonat Gereja, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997, hlm. 86-87
[27]
Lutheran World Federation, Op.Cit;
hlm. 71
[28]
A. Noordegraaf, Orintasi Diakonia Gereja,
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 214-216
[29]
Budiman Tua Simarmata, Critical Book
Review (The Habits of Highly Efective Chuches) dalam Jurnal Teologi, Vocatio
dei (Greja Hadir untuk Bersaksi, Melayani, dan mempimpin dalam segala Aras),
Pematang Siantar: STT-HKBP, 2010, hlm. 130-131
[30]
Einar M, Sitompul, Gereja Menyikapi
Perubahan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hlm. 62,64
[31]
Einar M, Sitompul, Op.Cit; hlm.
97-99
[32]
Kenneth O. Gangel, Membina Pemimpin
Pendidikan Kristen, Surabaya: Gandum Mas, 2001, hlm. 175-177
[33]
Sahat Martua Lumbantobing, Model
Kepemimpinan Episkopal, Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003, 168.
[34]
Jahenos Saragih, Manajemen Kepemimpinan
Gereja, Jakarta: Suara gereja Kristen Yang Esa Peduli Bangsa, 2009, hlm.
77-78
[35]
Jon Sabrino,S.J. dan Juan Hernandez Pico, S.J., Teologi Solidaritas, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 2001, hlm. 26
[36]
Her Suharyanto & Linda Tnagdialla, Kaum Buruh, Buah Hati Gereja,
Aktualisasi Ajaran Sosial Gereja dalam Perburuhan, Kanisius, Yogyakarta, 2004:
hlm. 98
[37]
A.A.Yewangoe, Iman Agama dan Masyarakat dalam Negara Masyarakat, BPK-Gunung
Mulia, Jakarta, 2002: hlm. 47-48.
[38]
Emanule Gerrit Singgih, Iman, dalam Politik dalam era Reformasi di Indonesia, BPK
Gunung Mulia, Jakarta, 2004, hlm 48-49
[39]
P. Octavianus, Gereja Memasuki Abad Ke 21, Yayasan Persekutuan Pekabaran Injil
Indonesia, Malang, 1998: hlm. 3-19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar